jpnn.com, JAKARTA - Draf revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dinilai belum memiliki perspektif gender sehingga cenderung abai terhadap kepentingan perempuan dan anak. Karena itu, pemerintah dan DPR RI wajib memperhatikan perspektif gender dalam proses revisi RUU tersebut.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk “RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme” di Pressroom DPR RI, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (13/9). Dalam diskusi ini, tampak hadir sebagai pembicara yaitu Anggota Pansus RUU Pemberantasan Terorisme, Bobby Adhityo Rizaldi; Ketua PSMP Handayani, Neneng Heryani; dan Direktur CSAVE, Mira Kusumarini.
BACA JUGA: Menteri Yohana Ajak Anak dan Perempuan Berani Lapor
Dalam kesempatan itu, Bobby mengatakan berbagai masukan dalam diskusi ini dapat menjadi amunisi bagi Pansus dalam pembahasan RUU kedepan. Dia mengaku draf RUU yang saat ini dibahas DPR bersama pemerintah belum mengatur secara khusus penanganan korban terorisme khususnya perempuan dan anak.
“Kami menganggap ini sebagai amunisi bagi Pansus,” kata Bobby.
Sementara itu, Neneng Heryani memaparkan pengalamannya dalam melakukan pendampingan terhadap para korban terorimse khususnya perempuan dan anak. Menurut Neneng, banyak kendala yang dihadapi selama ini antara lain tidak hanya masalah pembiayaan tetapi yang utama adalah adanya payung hukum.
“Kami berharap DPR dan Pemerintah mengakomodasi kepentingan perempuan dalam revisi UU Pemberantasan Terorisme ini,” ucap Neneng.
Direktur CSAVE, Mira Kusumarini menilai isu perempuan cenderung tidak mendapat perhatian dalam pembahasan RUU Pemberantasan Terorisme. Padahal, menurut Mira, isu perempuan dalam Countering Violent Extremism (CVE) melingkupi berbagai dimensi strategis yang layak mendapat porsi dalam pembahasan RUU Pemberantasan Terorisme.
“Dalam kaitan itu, penting untuk mempertimbangkan lebih lanjut peran perempuan utamanya dalam kerangka RUU Pemberantasan Terorisme yang berspektif gender,” tegas Mira.
Mira menegaskan perspektif gender penting untuk melihat pelibatan perempuan dalam aksi terorisme, bahwa mereka dapat menjadi pelaku maupun korban. Saat perempuan rentan menjadi korban tidak diperhitungkan maka ada potensi menempatkan perempuan sepenuhnya sebagai pelaku saja, tidak sebagai, misalnya, korban ketidaktahuan mereka.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich