Revisi UU Pilpres Tingkatkan Partisipasi Pemilih

Selasa, 05 Juni 2012 – 18:16 WIB

JAKARTA – Sekretaris Jendral (Sekjen) Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Romahurmuzy, mengatakan, revisi terhadap Rancangan Undang-undang Pemilihan Presiden (RUU Pilpres)  itu sebuah keharusan konstitusional. Pasalnya,  dua rezim pemilihan nasional yang sekarang berlaku sudah menggunakan mekanisme mencoblos dalam pemungutan suara. Sementara Undang-undang Pilpres masih menggunakan mekanisme mencontreng sehingga wajib direvisi.

“Kalau kita ingin tingkat partisipasi pemilih itu tinggi, merevisi UU Pilpres adalah sebuah keharusan kecuali memang faksi-faksi di DPR menginginkan pemilu itu hanya diikuti segelintir orang saja,” kata Romahurmuzy, Selasa (5/6), kepada wartawan, di Jakarta.

Dia mengingatkan bahwa suara tidak sah pilpres 2004-2009 itu berbeda 15 persen. Tahun 2004 suara tidak sah untuk pilpres 3,3 persen. Tahun 2009 tidak sah 17,5 persen. Jadi, hampir 15 persen suara tidak sah itu muncul karena kesalahan pemilih. “Nah di UU pilpres revisi terhadap cara pemilih ini harus diatur,” tegas pria yang karib disapa Romy, itu.
      
Yang juga penting, diingatkan Romy,  di dalam lima tahun ini sering dipertontonkan kepada faksun politik yang tidak elok dimana anggota penyokong pendukung pemerintah sendiri justru menohok pemerintahan itu dengan cara yang kurang tepat.
      
“Nah ini kan juga harus diatur hak dan kewajiban partai pendukung dan partai oposisi di dalam undang-undang pilpres selanjutnya di UU MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD). Sekarang kita kan sedang mematangkan UU MD3 nanti kalau ini sudah tuntas baru kemudian di UU Pilpres akan mengikuti,” ujarnya.
      
Jadi, lanjut dia, misalnya adakah kewajiban kepada presiden terpilih untuk merangkul parpol-parpol pengusung misalnya pada putaran kedua sampai dengan minimal 50 persen keanggotaannya di parlemen. “Ini kan perlu didefenisikan,” tegasnya.
      
Memang, kata dia, itu cara berpikir parlementer karena presiden dipilih langsung. Tapi, kata dia, tidak bisa menampik cara berpikir presidensial ini tetap membutuhkan dukungan mayoritas di parlemen. Nah, ketika kemudian Presiden SBY sekarang merekrut koalisi Demokrat dengan 75 persen, sering dikritik oleh para pengamat. Mestinya simple majority saja 50 persen.
      
“Nah kenapa tidak itu diatur dalam UU Pilpres karena ini kan menjadi kewajiban konstitusional yang ada konsekuensi terhadap partai pendukung. Supaya sistem pemiihan di indonesia ini punya landasan konstitusional kalau tidak orang akan menilai Setgab itu hanya sekedar forum kongkow kongkow,” pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Priyo: Hapus Jabatan Wamen!


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler