JAKARTA - Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka mengatakan sikap Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan permohonan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Garut untuk melengserkan Bupati Aceng Fikri patut diapresiasi dan didukung.
"Secara pribadi, berulang kali saya mengecam bukan hanya tindakannya yang terang-terangan melecehkan perempuan tapi juga sekaligus memerhatikan kebangkrutan moril pejabat publik," kata Rieke, Jumat (25/1).
Politisi yang kini mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Barat itu menilai tindakan Bupati Garut telah melanggar hukum, yakni Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dijelaskan Rieke pasal 2 ayat 2 UU itu berbunyi Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu kata Rieke, juga melanggar UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 27 ayat F yang berbunyi "menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah".
Ia mengatakan, secara etis dan wilayah moral sosial pun, sungguh merupakan penghinaan terhadap rakyat, karena terang-terangan memertontonkan sebuah arogansi kekuasaan yang mandul empati terhadap rakyatnya.
Menurut Rieke, Kabupaten Garut tercatat sebagai salah satu daerah tertinggal. Ia menjelaskan, implikasi yang paling menyedihkan adalah RSUD terancam bangkrut karena sistem dan kebijakan politik anggaran yang sangat tidak profesional dan berindikasi korupsi.
"Ketika rakyat berada dalam kemiskinan dan berjibaku dalam kehidupan yang sangat sulit, tentu sebuah penghianatan rakyat dengan mengumbar hasrat syahwat bahkan secara terbuka dan terang-terangan di depan publik," beber Rieke.
Karenanya, Rieke mengatakan putusan MA itu bukan hanya memerlihatkan keberpihakan lembaga peradilan terhadap kaum perempuan. Lebih dari itu, kata dia, hal ini menjadi momentum penegakanhukum yang memerlihatkan beberapa point penting.
"Pertama, setelah sekian lama kita dibuat prihatin atas putusan hukum yang hanya bertaring pada mereka yang lemah, kali ini saya melihat secercah harapan bahwa putusan di lembaga peradilan kita masih bisa berpijak pada rasa keadilan publik," ujarnya.
Kedua, lanjut Rieke, di era otonomi daerah ternyata ketika hukum ditegakkan, mitos "raja-raja kecil" kebal hukum bisa dipatahkan.
Ketiga, kata Rieke, ketika rakyat bergerak bersama untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih baik, maka tidak ada satu pun kekuatan yang bisa menahannya. "Bukan hanya praktek transaksional yang tak berlaku, dalam kasus Bupati Aceng, kita semua mendapatkan pelajaran berharga bahwa rakyatlah sesungguhnya yang menjadi penentu sebuah kekuasaan politik," pungkasnya. (boy/jpnn)
"Secara pribadi, berulang kali saya mengecam bukan hanya tindakannya yang terang-terangan melecehkan perempuan tapi juga sekaligus memerhatikan kebangkrutan moril pejabat publik," kata Rieke, Jumat (25/1).
Politisi yang kini mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Barat itu menilai tindakan Bupati Garut telah melanggar hukum, yakni Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Dijelaskan Rieke pasal 2 ayat 2 UU itu berbunyi Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu kata Rieke, juga melanggar UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 27 ayat F yang berbunyi "menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintah daerah".
Ia mengatakan, secara etis dan wilayah moral sosial pun, sungguh merupakan penghinaan terhadap rakyat, karena terang-terangan memertontonkan sebuah arogansi kekuasaan yang mandul empati terhadap rakyatnya.
Menurut Rieke, Kabupaten Garut tercatat sebagai salah satu daerah tertinggal. Ia menjelaskan, implikasi yang paling menyedihkan adalah RSUD terancam bangkrut karena sistem dan kebijakan politik anggaran yang sangat tidak profesional dan berindikasi korupsi.
"Ketika rakyat berada dalam kemiskinan dan berjibaku dalam kehidupan yang sangat sulit, tentu sebuah penghianatan rakyat dengan mengumbar hasrat syahwat bahkan secara terbuka dan terang-terangan di depan publik," beber Rieke.
Karenanya, Rieke mengatakan putusan MA itu bukan hanya memerlihatkan keberpihakan lembaga peradilan terhadap kaum perempuan. Lebih dari itu, kata dia, hal ini menjadi momentum penegakanhukum yang memerlihatkan beberapa point penting.
"Pertama, setelah sekian lama kita dibuat prihatin atas putusan hukum yang hanya bertaring pada mereka yang lemah, kali ini saya melihat secercah harapan bahwa putusan di lembaga peradilan kita masih bisa berpijak pada rasa keadilan publik," ujarnya.
Kedua, lanjut Rieke, di era otonomi daerah ternyata ketika hukum ditegakkan, mitos "raja-raja kecil" kebal hukum bisa dipatahkan.
Ketiga, kata Rieke, ketika rakyat bergerak bersama untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih baik, maka tidak ada satu pun kekuatan yang bisa menahannya. "Bukan hanya praktek transaksional yang tak berlaku, dalam kasus Bupati Aceng, kita semua mendapatkan pelajaran berharga bahwa rakyatlah sesungguhnya yang menjadi penentu sebuah kekuasaan politik," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Polda Jabar Antisipasi Amukan Massa Aceng
Redaktur : Tim Redaksi