jpnn.com - JAKARTA – Panitia Khusus Angket Pelindo II DPR menuntaskan penyelidikannya terhadap skandal yang terjadi di PT Pelindo II (Persero). Dalam laporannya di depan sidang paripurna pada Kamis (17/12), Rieke Diah Pitaloka selaku ketua pansus membeberkan pelanggaran di perusahaan yang dipimpin RJ Lino.
Rieke menyebutkan, ada empat persoalan besar yang menjadi konsen pansus dalam bekerja 60 hari terakhir. Meliputi permasalahan dalam pengadaan barang dan jasa, perpanjangan pengelolaan PT Jakarta International Container Terminal (JICT) antara Pelindo II dengan Hutchison Ports Holding (HPH). Kemudian, tata kelola perusahaan dan pelanggaran hukum ketenagakerjaan, serta program pembangunan dan pembiayaan terminal pelabuhan Kalibaru oleh PT Pelindo II.
BACA JUGA: Bikin Meme Jokowi-Nikita Mirzani, Dosen Ini Terpaksa Berurusan dengan Polisi
“Pansus mendapatkan temuan-temuan yang secara politik, hukum dan ekonomi membuka topeng investasi, privatisasi dengan cara memilih mitra strategis, perekayasaan sistematis atas pengalihan surplus ekonomi nasional ke pihak asing," kata Rieke, dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Agus Hermanto.
Politikus PDIP itu menyebutkan bahwa Pansus mendapat temuan mencengangkan ketika Menteri BUMN Rini Soemarno membela diri dengan mengatakan tidak mengetahui tentang hukum atas perpanjangan kontrak JICT antara Pelindo II dengan HPH. Namun, Rini berani mengeluarkan izin prinsip sebagai nomenklatur yang tidak dikenal dalam hukum perundang-undangan BUMN.
BACA JUGA: Agus Rahardjo Raih Suara Terbanyak Capim KPK
Di sisi lain, proses perpanjangan kontrak JICT dengan HPH telah dirintis oleh Dirut Pelindo II RJ Lino sejak 27 Juli 2012, dan izin prinsip tersebut dikeluarkan Meneg BUMN pada tanggal 9 Juni 2015. Padahal, menteri-menteri yang lain, Meneg BUMN dan Menteri Perhubungan (Menhub) pemernitahan sebelumnya, serta Menhub yang sekarang menjabat telah menolak perpanjangan kontrak tersebut.
“Dalam rapat pansus, Meneg BUMN Rini Soemarno berdalih, bahwa izin prinsip yang dikeluarkan mensyaratkan kepemilikan saham Pelindo II harus 51 persen (di JICT) dan harus mematuhi UU 17 Tahun 2008 yang memisahkan fungsi regulator dan operator, hasil Panja BUMN, serta putusan Mahkamah Konstitusi terkait kerjasama BUMN.
BACA JUGA: SELAMAT! Inilah 5 Pimpinan KPK yang Baru Terpilih
Sementara, kontrak final antara Pelindo II dengan HPH ditandatangani pada 7 Juli 2015 yang telah dinotariskan, komposisi Pelindo II sebesar 48 persen, Kopegmas 0,10 persen, HPH 51 persen. Sebelumnya pada Juni 2015, Pelindo II menagih pembayaran upfront fee dari HPJ (Hutchison Ports Jakarta) sebesar USD 215 juta. Menurut surat HPI (Hutchison Ports Indonesia) dan Pelindo II, nilai USD 15 juta merupakan tambahan di luar perhitungan DB (Deutch Bank) sebesar USD 200 juta.
“Tambahan tersebut merupakan arahan Meneg BUMN, Rini Soemarno. Pembayaran dilakukan pada 2 Juli 2015 dan dikenai pajak ganda, yakni 15 persen With Holding Tax Singapura dan 10 persen PPN Indonesia," ujar Rieke.
Rieke juga melaporkan persoalan dalam perpanjangan kontrak JICT pada HPH dilakukan sebelum Pelindo II mendapat perpjanjian konsensi dari regulator pelabuhan yang berada di bawah kendali Menhub. Selain itu, kontrak tersebut diakui Meneg BUMN Rini Soemanro tidak ada dalam RKAP Pelindo II dan tidak ada dalam RUPS. Di sinilah terjadi pelanggaran UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
“Bahkan, Meneg BUMN Rini Soemarno dalam rapat pansus, dengan di bawah sumpah mengatakan bahwa kegiatan bisnis yang dijalankan BUMN tidak harus selalu ada dalam RKAP, apalagi menyangkut investasi asing," beber Rieke.
Tak kalah menarik, Dirut Pelindo II RJ Lino sendiri menurut Rieke, tidak tahu harus tunduk pada UU yang mana. Terpenting baginya, perpanjangan kontrak JICT secara de facto dan pembayaran telah terjadi, secara de jure, proses legal dilakukan belakangan. Dalam laporannya, banyak persoalan lain yang disampaikan pada paripurna.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ayah Velove Vexia Ngiri
Redaktur : Tim Redaksi