Risiko berkendara di Jakarta

Selasa, 24 Desember 2013 – 15:57 WIB

SEPERTI halnya orang yang pulang pergi setiap hari untuk bekerja di Jakarta, setiap hari nyawa saya juga dalam bahaya dengan melintasi salah satu dari perlintasan kereta api tersibuk di kota ini.

Sedihnya, kecelakaan mengerikan awal bulan Desember ini di persimpangan Bintaro, Pesanggrahan adalah tragedi yang diibaratkan menunggu waktu untuk terjadi.

BACA JUGA: Madiba .

Pasalnya, dengan jalan-jalan kota yang berubah menjadi sangat ramai, menjadi penyebab kemacetan kendaraan yang menumpuk di salah satu dari banyak perlintasan yang tidak layak.

Sebut saja persimpangan menuju Pondok Betung berada di jalur kereta api Parung Panjang / Serpong-Tanah Abang. Fakta bahwa korban kecelakaan adalah kendaraan pengangkut bensin Pertamina, kemudian membuat tragedi ini lebih eksplosif.

BACA JUGA: Thailand .

Ironisnya, tempat kecelakaan itu terjadi sekitar 200 meter dari lokasi kecelakaan kereta yang paling mengerikan di Indonesia, yaitu tragedi Bintaro tahun 1987 yang menewaskan lebih dari 150 orang dan menyebabkan korban luka-luka berjumlah dua kali lipatnya.

Tentu saja, peristiwa ini menjadi peringatan serta panggilan bagi pemerintah untuk membangun jalan bawah tanah dan jembatan layang.

BACA JUGA: Saya adalah Pemimpi

Termasuk kepastian yang diperlukan dari perencana kota setempat tentang pembangunan bypass di persimpangan.

Namun kenyataannya, mau tak mau untuk saat ini dan dalam waktu ke depan banyak warga Jakarta dipaksa untuk mengambil risiko terhadap nyawa mereka masing-masing.

Tidak hendak untuk mengatakan bahwa sistem perkeretaapian di Jakarta belum memperlihatkan perbaikan.

KRL di Jakarta dijalankan oleh BUMN PT Kereta Api Indonesia (KAI). Selama empat tahun terakhir, CEO PT KAI Ignasius Jonan telah mempelopori banyak perbaikan dalam hal pelayanan, mulai dari penggunaan AC di semua kelas gerbong, meningkatkan keamanan gerbong serta keefisienan penerapan sistem tiket “multi-trip”.

Kali ini saya akan memberitahu kepada anda tentang perjalanan keseharian saya menuju kantor yang sedikit menantang maut.

Intinya, rute dari Kuningan ke Menteng berjalan seperti ini:

Pertama-tama saya berada di antara padatnya kendaraan di Jalan Sultan Agung. Karena sebagian pembaca pasti sudah mafhum, ini adalah jalan utama yang menghubungkan Jalan Sudirman dengan area Matraman.

Dengan adanya dua jalur busway dan kanal banjir di kanan kiri, Jalan Sultan Agung bukanlah salah satu jalan yang paling menarik di Jakarta.

Setelah berada di arteri macet ini, saya kemudian mengarah tepat ke seberang sebelah kanal banjir barat ke arah Menteng, sedikit menyenangkan karena akan dijumpai taman Suropati dan keagungan Jalan Diponegoro.

Sekarang, untuk bergerak dari satu sisi ke kanal yang lain, saya juga harus menyeberangi rel KRL dari arah Bogor / Depok-Tanah Abang-Pasar Senen-Jatinegara.

Selama jam-jam sibuk, ada kereta melintas setiap lima belas menit sekali. Pada jam-jam yang longgar, kereta melintas setiap setengah jam sekali.

Tak perlu dikatakan lagi, titik ini adalah pinggiran yang kritis, yang menghubungkan Jakarta dengan Depok dan Bogor serta rute lain yang mempertemukan satu kota dengan kota lain di Jabodetabek.

Benar adanya perkiraan penumpang yang menggunakan KRL setiap harinya lebih dari 600.000 orang. Ini adalah peningkatan yang substansial lebih dari 300/350.000 penumpang yang telah menggunakan KRL jika dibandingkan di tahun 2009.

Tentu saja, aliran penumpang yang banyak ini berada di stasiun kereta di Dukuh Atas (di Jalan Sudirman); menyumbat sempitnya Jalan Latuharhari dengan bertenggernya warung-warung di pinggir jalan membuktikan bukti populernya jalan ini.

Namun bahkan sebelum terjadinya tragedi mengerikan Bintaro, mengatasi ruwetnya persimpangan ini selalu menjadi pengalaman yang sangat sulit. Setelah menyaksikan liputan di televisi, saya semakin sadar akan bahaya yang mengintai di setiap pergerakan jalan di Jakarta dan ketidaksiapan yang menyapa.

Saya belum pernah melihat ada orang yang terjebak di belakang pintu perlintasan, tetapi tetap saja peristiwa minggu lalu membuat semua pihak dipaksa memfokuskan pada sikap berlalu lintas yang aman dan baik, termasuk sistem kereta api yang melintas di pinggiran kota Jakarta.

Pada Desember 2013, sebagian besar (279 dari 371) dari perlintasan rel kereta api berisiko tinggi masih tak berpenjaga. Di dalam sistem, tidak dapat diterima dengan alasan apapun jika tabrakan adalah kurangnya pengawasan teknis.

Satu hal yang jelas: orang Jakarta sangat butuh perlintasan kereta api yang sangat berbahaya itu diganti dengan jalan bawah tanah dan jembatan. Hidup di jalan-jalan Jakarta sudah berbahaya tanpa ditambahi dengan bahaya kereta api... (***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Maluku .


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler