jpnn.com - Oleh: Achmad Deni Daruri
President Director Center for Banking Crisis
BACA JUGA: CBS: Stabilitas Sektor Keuangan Semakin Baik, BI dan OJK Layak Dapat Pujian
Ada dua sumber risiko sistemik yang utama pada tahun 2019 ini. Pertama, respons pengetatan kebijakan bank sentral negara maju termasuk Amerika Serikat dan negara emerging yang lebih agresif dibandingkan perkiraan sehingga mengakibatkan kenaikan suku bunga internasional dan mengetatnya likuiditas global ternyata tidak terjadi.
Patuhnya Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat terhadap Presiden Trump merupakan bentuk nyata dari dovishnya risiko sistemik tersebut. Bank Indonesia dengan memperhitungkan covered interest parity telah menempatkan kebijakan moneter yang tepat yang a head the curve.
BACA JUGA: Tekanan Rupiah Turun, CBS Memastikan Kondisi Keuangan Aman
Kedua, berlanjutnya kebijakan proteksionis Amerika Serikat yang meningkatkan eskalasi trade war antara Amerika Serikat dan Tiongkok diperkirakan semakin melemah. Langkah Bank Indonesia dan OJK dengan menganut prinsip bank follows the trade tampaknya berhasil menjangkar risiko inflasi yang berpotensi ditimbulkan oleh perang dagang.
Dengan menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh Rime, Scrimpf dan Syrstad tahun 2017 terbukti juga bahwa deviasi dalam covered interest parity yang umumnya terjadi secara persisten setelah global financial crisis juga dapat dijinakan. Hal ini juga dapat terjadi akibat kecerdikan pengelola sektor moneter dan keuangan di Indonesia dalam mengelola kebijakan moneter dan keuangan yang tidak melemahkan peran negara dan masyarakat dalam pembangunan.
BACA JUGA: Syafruddin Divonis 13 Tahun Penjara, Deni: Sarat Kepentingan
Teori ini sebetulnya dikembangkan oleh Raghuram Rajan lulusan Universitas Chicago yang pernah menjadi gubernur bank sentral India dan chief economist IMF, namun justru di Indonesialah teori ini dapat diterapkan dengan baik oleh Bank Indonesia dan OJK. Dengan penerapan teori ini maka ancaman shok berupa contagion effect krisis perekonomian yang terjadi di Turki dan Argentina ke negara emerging lainnya semakin jauh panggang dari pada api.
Acungan jempol patut diberikan khususnya kepada Perry Waluyo yang mampu melakukan kebijakan moneter yang bersifat divergensi setelah mampu membaca dengan baik pergerakan deviasi yang besar dari rupiah terhadap dolar Amerika Serikat dalam konteks covered interest parity khususnya pada akhir tahun 2018 dan awal tahun 2019. Jika kewaspadaan ini dapat dipertahankan dengan baik maka dapat diperkirakan bahwa stabilitas system keuangan pada tahun 2019 akan kembali dapat terjaga dengan baik, apalagi Bank Indonesia memprioritaskan menjaga stabilitas ketimbang pertumbuhan ekonomi!
Dengan demikian, langkah BI mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate atau BI7DRR sebesar 6,00 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen berdasarkan covered interest rate parity merupakan langkah yang tepat seiring dengan ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari kenyataan dan ekspektasi nilai tukar rupiah yang lebih murah dari yang terjadi di pasar.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... RI Lebih Kuat Dalam Menjaga Stabilitas Keuangan Ketimbang AS
Redaktur : Tim Redaksi