jpnn.com, JAKARTA - Perekonomian Indonesia jelas lebih unggul ketimbang India, Turki apalagi Argentina. Regulasi sektor keuangan lebih rapi dan sinkron. Jadi, tidak perlu khawatir akan terjadi krisis terulang kembali seperti krisis moneter 1998.
Hal tersebut disampaikan President Director Center for Banking Crisis (CBC), Achmad Deni Daruri dalam siaran persnya di Jakarta, Senin (10/9/2018).
BACA JUGA: Cegah Krisis, Elite Politik Harus Bersatu
Menurut Deni, Indonesia merupakan negara yang paling sinkron kebijakan dalam menjaga stabilitas sektor keuangan, bahkan jika juga dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Deni menyebut Presiden Trump berupaya agar dolar AS, melemah. Namun, gubernur bank sentral AS justru menciptakan kebijakan moneter yang membuat dolar AS menguat. Sehingga, upaya Trump untuk meningkatkan daya saing perekonomian Amerika Serikat menjadi sirna.
BACA JUGA: Rupiah Terpuruk, Suara Jokowi - Maruf Tergerus?
“Hal yang sama juga terjadi di India, Turki dan Argentina dimana selalu terlihat adanya perbedaan yang cenderung berlawanan antara kebijakan moneter, keuangan dan fiskal," kata Deni.
Di India, Argentina dan Turki, lanjutnya, kebijakan moneter tidak peduli dengan pelemahan mata uangnya. Padahal, defisit dalam anggaran pendapatan dan belanja, jauh lebih besar ketimbang Indonesia.
BACA JUGA: Bamsoet Minta Otoritas Moneter Buru Spekulan Dolar
“Sementara itu harmonisasi kebijakan di Indonesia justru semakin mantap dengan terpilihnya Ketua OJK dan Gubernur BI yang baru ini,” papar Deni.
Bank Indonesia (BI), kata dia, berencana mengerek suku bunga acuan (BI-7 Days Repo Reserve Rate) ketika Turki mengalami devaluasi mata uang lira. Selain itu, pemerintah Indonesia mengerem impor barang konsumsi dan barang modal untuk kebutuhan konsumsi, pemakaian biofuel serta upaya peningkatan ekspor seperti peningkatan ekspor batubara merupakan upaya kebijakan yang harmonis yang tidak terlihat di Amerika Serikat, Turki, Argentina dan India.
Deni menjelaskan, perekonomian Indonesia saat ini jelas berbeda dengan 1997. Kini, OJK telah menjalankan pengendalian resiko alokasi kredit dengan seksama dengan memantau tiga variable utama yaitu peningkatan standar pemberian kredit (lending standards), peningkatan hambatan kredit (credit constrains), serta peningkatan harga resiko (price of risk).
“Upaya peningkatan dari price of Risk dan peningkatan lending standards terbukti mampu menetralisir peningkatan risk appetite sehingga peningkatan credit demand dan peningkatan credit supply hanya meningkatkan credit volume dan tidak meningkatkan resiko dari alokasi kredit (riskiness of credit allocation),” paparnya.
Inilah keunggulan OJK! Di negara seperti Turki, India dan Argentina, upaya penerapan harmonisasi sector keuangan masih belum mampu mengurangi riskiness of credit allocation.
“Bank sentral di ketiga negara tersebut juga selalu terlambat dalam menaikan tingkat suku bunganya, sehingga kebijakan moneter menjadi mandul dalam meredam pelemahan mata uang,” ungkapnya.
Inilah keunggulan BI! Dengan model kerja sama BI dan OJK yang jitu itu maka perusahaan di Indonesia memiliki kinerja laba (earnings) yang lebih baik ketimbang perusahaan di India, Turki dan Argentina.
Bukan hanya kinerja labanya yang lebih tinggi tetapi juga trennya terus meningkat sementara itu tren kinerja India, Turki dan India justru juga justru terus menurun. Secara riil harga saham di Indonesia sudah undervalued.
Artinya, kata Deni, saat ini adalah time to buy. Jika dibarengi anggaran belanja negara pemerintah yang berimbang, maka efektifitas kebijakan expenditure switching dan expenditure reducing yang dijalankan BI dan OJK, dapat menciptakan surplus neraca perdagangan.
“Paling lambat akan terjadi pada November 2018," tegas Deni.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rupiah Melemah, Bamsoet Harapkan Semua Pihak Bertindak Nyata
Redaktur & Reporter : Friederich