jpnn.com, JAKARTA - Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) mengajak masyarakat Indonesia untuk sadar dan menemukan solusi atas persoalan ini melalui Ngkaji Pendidikan. Tema yang diangkat adalah Ruang Ketiga di Pendidikan.
Founder GSM Muhammad Nur Rizal yang tampil sebagai pembicara mengungkapkan bagaimana cara mengajar guru-guru di Australia, sehingga melahirkan lulusan yang hebat.
BACA JUGA: Banyak Guru Tertarik Sistem Pembelajaran Menyenangkan, Pemda Dukung Pembentukan GSMÂ
Ternyata, para guru di Australia itu mengajar seperti sosok pendidik di film Laskar Pelangi.
"Jadi, kehebatan mengajar itu juga dari ruang ketiga (kedai kopi misalnya). Bukan hanya dari infrastruktur, bersamaan dengan ruang dialektika ruang berimajinasi secara setara," kata Nur Rizal dalam Ngkaji Pendidikan yang diselenggarakan secara hybrid pada Sabtu (24/2).
BACA JUGA: GSM Dorong Sekolah Pinggiran Jadi Motor Perubahan Pendidikan Â
Walaupun mungkin sekolahnya tidak punya kurikulum dan tidak menuntut nilai akademik, tetapi mampu menciptakan siswanya bisa mengubah keadaan itu sendiri, sambungnya.
Dia mencontohkan, Andrea Hirata yang mungkin tidak bisa menulis dan tidak bisa berimajinasi kalau tidak pernah keluar kelas.
BACA JUGA: Malam Apresiasi Swarna, Tari Saman & Jaroe jadi Penampilan Spesial GSMS
"Banyak intelektual yang mengatakan kalau kalian melakukan dialog di ruang ketiga maka dialogmu bukan formalisme. Bukan administrasi, tetapi dari hati dan jiwamu," cetusnya.
Oleh karena itu, jika dialog berasal dari hati dan jiwa itu berarti berasal dari pikiran yang paling jujur
Menurut Rizal GSM, sapaannya, mal-mal bisa jadi ruang ketiga. Namun, masalahnya itu diperuntukkan bagi mereka kalangan menengah ke atas.
Yang dibutuhkan itu ruang ketiga yang setara dan bukan diprivatisasi kelompok elit dan kaya. Ketika ruang kesetaraan itu dikapitalisasi, maka tidak semua orang bisa mengaksesnya.
Misalnya, kata Rizal, ada ruang kelas bagus, tetapi yang bisa masuk hanya siswa tertentu, sehingga namanya bukan kesetaraan.
Contoh lainnya, punya sekolah megah, tetapi tidak ada interaksi guru dan murid.
"Itu juga namanya bukan ruang kesetaraan," cetusnya.
Lebih lanjut dikatakan lulusan doktor dari Monash University ini, interaksi dan kesetaraan itu penting juga adanya ritual kebersamaan merasa senasib sepenanggungan. Kemudian, orang bisa menjadi dirinya sendiri karena orang tidak bisa mencapai versi terbaiknya kalau tidak bisa menjadi dirinya sendiri.
"Karenanya agama memerintahkan berpuasa agar kita bisa menjadi versi terbaik menurut diri kita sendiri," ucapnya.
Yang terakhir, tambah alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) ini, suasana harus rileks, sehingga bisa menjadikan orang kreatif. Ini bisa dilakukan semua orang.
Rizal menceritakan komunitas GSM menciptakan ruang kesetaraan itu tanpa sengaja yang namanya NusaCita. Pendaftarnya ada 60an orang dan yang berbicara adalah murid.
"Mereka bisa menceritakam kondisi bagaimana cara belajarnya dan lain-lainnya di komunitas GSM," pungkas Muhammad Nur Rizal. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesyia Muhammad