Rohingya, Mencari Tempat Berlindung

Oleh: Eva Nila Sari - Pegawai Komnas HAM

Jumat, 08 Maret 2024 – 16:27 WIB
Arsip foto - Imigran Rohingya ditampung di tenda darurat di Pantai Kuala Parek, Sungai Raya, Kabupaten Aceh Timur. Foto: ANTARA/HO-Pemkab Aceh Timur

jpnn.com - Pengungsian warga Rohingya tak terelakkan. Mengalami persekusi dan kekerasan selama puluhan tahun, bahkan tidak diberikan status kewarganegaraan (stateless), membuat mereka tidak lagi menemukan tempat berlindung di negeri sendiri.

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migration (IOM) mencatat 1,5 juta Rohingya telah mengungsi sejak 1970.

BACA JUGA: Polisi Gerebek Tempat Penampungan Pengungsi Rohingya di Pekanbaru, Tiga Agen Ditangkap

Angka itu terus meningkat secara signifikan pasca-konflik yang meledak pada 2017.

Sekitar 850.000 warga Rohingya menjadi pengungsi di negara mereka sendiri (Myanmar).

BACA JUGA: Menlu Retno: Demokrasi di Myanmar Kunci Penyelesaian Isu Rohingya

Selain itu, antara 900.000 sampai satu juta warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh, sedangkan 153.000 orang lainnya mendarat di Malaysia.

Ada pula 50.000 warga Rohingnya yang melarikan diri ke India. Di Thailand pun terdapat sekitar 5.000 pengungsi Rohingya.

BACA JUGA: Perahu Mengangkut 20 Warga Rohingnya Terdampar di Aceh Timur

Kurang lebih 5.000 warga Rohingnya menjadi pengungsi di Australia, sedangkan yang melarikan diri ke Indonesia sekitar 1.000 orang.

Faktor geografis membuat Bangladesh menjadi tujuan paling rasional bagi warga Rohingnya.

Di Cox’s Bazar, pusat pengungsian di Bangladesh, telah dibangun 33 kamp pengungsi yang menampung lebih dari 900.000 orang.

Cox’s Bazar jauh dari kata layak. Sanitasinya buruk. Air yang dipakai untuk kebutuhan sehari-hari pun terkontaminasi bakteri.

Tak sedikit pengungsi yang terjangkit diare dan mengalami keracunan. Pada 2017, sepuluh  pengungsi tercatat tewas akibat difteri.

Sekitar 200.000 pengungsi di Cox’s Bazar menempati rumah yang rawan hancur apabila cuaca berubah buruk.

Lokasi itu tergolong sangat padat. Pemerintah Bangladesh sendiri mengaku kewalahan dengan arus pengungsian Rohingya yang begitu intensif.

Memang Bangladesh dan penguasa Myanmar brsepakat untuk melakukan repatriasi atau pengembalian pengungsi Rohingya secara bertahap.

Namun, masih ada persoalan lain karena mereka mengalami trauma dan ketakutan bakal dipersekusi lagi apabila kembali ke negaranya.

Pada titik itulah banyak warga Rohingya mencari lokasi pengungsian di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Upaya itu bukannya tanpa risiko, karena mereka harus bertaruh menjadi korban human trafficking atau tenggelam di laut lepas, bahkan menghadapi potensi penolakan dan pengusiran.

Entah mengapa opini yang berkembang terkesan mengabaikan pangkal persoalan, yaitu tidak dihentikannya aksi pembersihan etnis terhadap warga Rakhine.

Walhasil gelombang pengungsi Rohingya terus mengalir, terutama ke Bangladesh, India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.

Rumor yang Diyakini sebagai Kebenaran

Kaki tangan Inggris. Begitulah persepsi tentang etnis Rohingya yang berkembang di kalangan warga Buddha Myanmar.

Persepsi telah dijadikan alasan pembenar untuk melakukan kekerasan terhadap etnis Rohingnya hingga hari ini.

Penguasaan Inggris di Myanmar dimulai pada 1823 yang ditandai dengan pembukaan lahan teh secara besar-besaran.

Dalam rangka itu, Inggris mendatangkan tenaga kerja dari India dan Bangladesh. Warga Buddha di Myanmar menganggap orang Islam yang dibawa penguasa Inggris telah merebut banyak hal di tanah Myanmar.

Nasionalisme berdasar solidaritas sesama penganut Buddha kian tumbuh dan menggelora menjadi api perlawanan yang membebaskan mereka dari cengkeraman kolonialisme Inggris.

Bersamaan dengan itu, solidaritas tersebut justru menekan kelompok Rohingya yang diposisikan antagonis dan menjadi bagian dari kolonialisme Inggris.

Demonisasi atas Rohingya terjadi berdasar asumsi bahwa mereka akan menguasai Myanmar yang dinilai hidup lebih makmur.

Ditambah persepsi supremasi agama bahwa tanah Myanmar hanya diperuntukkan bagi warga Buddha, seperti halnya kaum Hindu yang menguasai tanah India.

Rezim junta militer juga memanfaatkan sentimen kebencian itu untuk melanggengkan kuasa. 

Konflik tersebut kemudian berevolusi menjadi perselisihan etnis dan agama yang terus-menerus memakan korban.

Bagi junta militer Myanmar, isu Rohingya cukup efektif dalam menggalang dukungan masyarakat Buddha.

Diskriminasi terhadap Rohingya lantas dilegalkan ke dalam bentuk aturan. Secara resmi mereka telah dinyatakan sebagai etnis yang tidak diakui oleh negara.

Alhasil etnis Rohingya mengalami persekusi selama puluhan tahun bahkan hingga hari ini. Ironinya, hal ini terjadi hanya karena rumor yang diyakini sebagai kebenaran.

Stateless

Sejumlah aturan yang diterbitkan telah menjauhkan warga etnis Rohingya dalam mengakses hak-hak kewarganegaraan mereka, bahkan dalam bentuk yang paling dasar sekalipun.

Pemerintah Myanmar menempatkan warga Rohingnya ke dalam posisi stateless dan menjadi etnis terbesar di dunia yang tidak memiliki kewarnegaraan. 

Aturan tersebut pertama kali diterbitkan pasca-kemerdekaan Myanmar dari penjajahan Inggris pada 1948.

Pemerintah Burma -nama sebelum Myanmar- menerbitkan aturan mengenai siapa saja pihak yang berhak mendapatkan status kewarganegaan.

Namun, etnis Rohingya menjadi pengecualian dalam aturan itu.

Lalu pasca-kudeta militer pada 1962, penguasa Burma mewajibkan semua warga membawa akses kartu registrasi nasional (semacam KTP).

Akan tetapi, warga Rohingya hanya mendapatkan kartu identitas warga asing yang membatasi mereka dalam mengkakses hak atas pekerjaan dan pendidikan.

Pada 1982, Junta Militer Burma menerbitkan undang-undang tentang tiga bentuk kewarganegaraan yang menutup kesempatan bagi warga Rohingya mendapatkan status sebagai warga negara.

Junta militer juga memosisikan Rohingya sebagai penduduk Bangladesh yang masuk ke Myanmar secara ilegal.

Sungguhnya kebijakan yang didukung oleh kesepakatan repatriasi Pemerintah Bangladesh dan Myanmar pada 1979 itu merupakan pengembalian pengungsi Rohingya ke Myanmar karena ketidaksanggupan Pemerintah Bangladesh menampung para pengungsi tersebut.

Pada 1990-an, etnis Rohingya diberi kartu identitas (white card) yang memberikan hak terbatas. Namun, kartu itu tidak berlaku sebagai bukti kewarganegaraan.

Perlawanan Itu Akhirnya Terjadi

Yang tertinggal tak sanggup menahan derita yang mendalam. Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) akhirnya melakukan serangan berdarah atas sejumlah pos polisi dan tentara pada 2017.

Junta Militer Myanmar merespons serangan itu dengan menyatakan ARSA sebagai kelompok teroris, sekaligus meluncurkan aksi balasan berskala besar yang brutal, bahkan menarget warga sipil.

Desa-desa warga Rohingnya dibumihanguskan, warga sipilnya diperkosa, ditembak, disiksa, diculik, dibunuh. Eksodus pun tak terelakkan. PBB lantas menyatakan Junta Militer  Myanmar telah menerapkan taktik genosida.

Aksi pertama ARSA dilancarkan pada 2016 dengan menyerang tiga pos polisi di Maungdaw dan Rathedaung. Serangan itu menyebabkan sembilan polisi tewas.

ARSA adalah reaksi atas tindak penindasan penguasa Myanmar terhadap warga Rohingya selama berpuluh-puluh tahun.

Maung Zarni (European Centre for the Study of Ekstremism) menegaskan bahwa ARSA bukanlah teroris, melainkan sekumpulan orang-orang putus asa yang memutuskan melawan tiran dan melindungi warga Rohingya yang puluhan tahun hidup dalam kesengsaraan.

Resolusi PBB

Gambia, sebuah negara kecil di Afrika barat yang mayoritas penduduknya Muslim, telah membawa kasus Rohingya ke International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional atas nama puluhan negara Muslim lainnya.

Berdasarkan hasil penyelidikan, Majelis Umum PBB kemudian menerbitkan resolusi pada 27 Desember 2019 yang disetujui oleh 134 negara dari 193 negara anggota. Adapun sembilan negara menentang resolusi itu, sedangkan 28 lainnya abstain.

Resolusi PBB tersebut mengutuk pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Rohingya dan minoritas lainnya di Myanmar.

PBB dalam resolusi itu juga menyerukan agar Myanmar menghentikan hasutan kebencian terhadap minoritas Rohingya dan kelompok minoritas lainnya, mendorong perlindungan terhadap semua kelompok, dan menjamin keadilan bagi semua korban pelanggaran hak asasi manusia.

Resolusi tersebut juga menyatakan kekhawatiran atas membanjirnya orang-orang Rohingya ke Bangladesh yang disebut sebagai “akibat kekejaman pasukan keamanan dan bersenjata Myanmar".

Kendati Resolusi Majelis Umum PBB telah secara jelas mengungkap tindak pelanggaran yang dilakukan tentara Myanmar dan penanganan soal Rohingnya harus segera dilakukan, persoalannya tidak serta-merta selesai.

Pasalnya, Resolusi PBB tidak mengikat secara hukum dan hanya mencerminkan pendapat dunia.

Oleh karena itu, aksi nyata masih sangat diperlukan. Pada level pergaulan dunia, baik di level regional maupun internasional, diplomasi melalui forum ASEAN, OKI, dan seterusnya masih terbukti mempunyai dampak.

ASEAN mempunyai akses untuk menekan Myanmar segera menghentikan aksi kekerasan terhadap warga Rohingya dan kaum minoritas lain. Status Myanmar sebagai anggota ASEAN pun bisa dipertimbangkan untuk dibekukan jika kekerasan terhadap Rohingya dan etnis minoritas lainnya tetap berlangsung.

Langkah selanjutnya ialah mendesak Pemerintah Myanmar segera memformulasikan solusi baik jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Harapannya, warga Rohingya tidak lagi merasa tidak aman dan merasa perlu meninggalkan negaranya.

Terkait para pengungsi yang sudah meninggalkan negaranya, perlu pula dipikirkan kelangsungan hidup mereka sehingga dapat kembali atau berdamai dengan kondisi dan situasi warga lokal di tempat baru.

Konsolidasi ini sangat mungkin dilakukan, terlebih negara-negara tujuan masih terikat dalam komunitas regional ASEAN dan Asia Pasifik, termasuk mengadakan pulau khusus untuk tempat tujuan mengungsi mereka.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler