jpnn.com, JAKARTA - Rencana pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012, tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan menuai kecaman dari sejumlah kalangan.
Rencana ini tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2022, tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023, yang ditetapkan pada 23 Desember 2022 lalu.
BACA JUGA: Hadirkan Tembakau Bebas Asap, Sampoerna Luncurkan IQOS ILUMA di 10 Kota
Rois Syuriyah PBNU, KH. M. Azizi Chasbulloh menolak keras rencana revisi PP 109/2012.
Pasalnya, terdapat 120 juta anggota Nahdlatul Ulama (NU) yang menggantungkan hidupnya dari tembakau.
BACA JUGA: Setoran Pajak PT Timah Capai Rp 1,51 Triliun
Mulai dari usaha pengembangan ekonomi pengusaha kecil hingga buruh dan petani tembakau.
"Meski kelihatannya rokok, tapi ancamannya makro, yakni Indonesia. Ingat, NU adalah organisasi Islam terbesar di dunia yang beranggotakan lebih dari 120 juta. Jelas kalau pemerintah melakukan revisi PP 109/2012 yang dirugikan rakyat, NU yang paling dirugikan hajat hidupnya," katanya, Kamis (2/3).
BACA JUGA: GMC Jateng Resmikan Kampung Ganjar Pranowo dan Sosialisasi Cegah Stunting
KH. M. Azizi Chasbulloh mengingatkan NU mempunyai andil besar dalam mendirikan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Semua yang mendirikan RI ini dulu para perokok, jadi jangan dilupakan. Dan, NU punya tanggung jawab besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia khususnya warga NU," tegasnya.
Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menegaskan PP 109/2012 yang saat ini berlaku sudah baik dan masih relevan untuk diterapkan, meskipun pelaksanaannya masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mengutamakan dan memperkuat aspek sosialisasi, edukasi, serta penegakan implementasi.
Henry Najoan mengatakan, isi draf perubahan PP 109/2012 cenderung pelarangan. Hal itu justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha industri hasil tembakau (IHT) legal di tanah air.
“Kalau mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya dititiktekankan pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan,” terang Henry Najoan.
Saat ini, menurut Henry Najoan, iklim usaha IHT legal tidak sedang baik-baik saja.
Pasalnya, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang terjadi hampir setiap tahunnya justru banyak menyebabkan trade off, kenaikan tarif cukai dan harga rokok yang eksesif setiap tahunnya lebih banyak berdampak pada penurunan jumlah pabrikan rokok dan peningkatan peredaran rokok ilegal dibandingkan dengan penurunan jumlah prevalensi merokok secara umum.
Merujuk kajian GAPPRI, tekanan untuk terus menaikkan CHT secara eksesif disebabkan oleh pemahaman bahwa harga rokok di Indonesia dipersepsikan rendah/murah.
Kampanye kesehatan secara berlebihan mendesak agar pengendalian prevalensi rokok dilakukan melalui kenaikan CHT yang eksesif dan penyederhanaan layer CHT.
“Padahal, berbagai studi menunjukkan keterjangkauan rokok di Indonesia termasuk yang paling tidak terjangkau. Artinya fungsi pengendalian konsumsi IHT legal melalui formulasi kebijakan CHT yang eksesif selama ini ternyata tidak efektif,” tegas Henry Najoan.
"Intinya kami supporting bersama masyarakat tembakau Indonesia untuk menolak revisi PP 109/2012 tersebut," serunya.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada