DAMASKUS - Gencatan senjata di Syria yang digagas PBB menghadapi banyak hambatan. Selain bentrok antara pasukan pemerintah dan oposisi belum mereda, korban jiwa juga terus berjatuhan. Warga sipil kembali menjadi korban serangan tentara pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.
Ledakan yang cukup dahsyat mengguncang Kota Hama, sekitar 210 kilometer utara Damaskus, kemarin (26/4). Sedikitnya, 70 orang tewas dalam serangan roket yang meluluhlantakkan sebuah rumah di kawasan selatan Syria tersebut. Itu merupakan serangan terburuk di Syria sejak revolusi sipil dan demo anti-Assad meletus tahun lalu. Para aktivis menyebut sejumlah rumah di Distrik Masha at-Tayyar, selayan Hama, juga rusak akibat ledakan tersebut.
Media-media, terutama yang pro-pemerintah, memiliki versi berbeda mengenai insiden tersebut. Media nasional di bawah naungan pemerintah melaporkan bahwa 16 orang tewas akibat ledakan di sebuah rumah yang digunakan oleh kelompok teroris untuk membuat bom. Tetapi, laporan lain menyebut bahwa ledakan itu terjadi akibat serangan roket atau rudal yang dilancarkan pasukan Assad.
Kekerasan tersebut terjadi di tengah berlakunya gencatan senjata yang diusulkan Utusan Khusus PBB dan Liga Arab Kofi Annan. Pasca ledakan itu, para aktivis mengunggah rekaman video di internet yang memperlihatkan lokasi yang hancur akibat serangan tersebut. Sejumlah jenazah dikeluarkan dari reruntuhan dan puing-puing bangunan. Sebuah laporan menyatakan bahwa 13 anak-anak dan 15 perempuan termasuk di antara korban tewas.
Koalisi oposisi Dewan Nasional Syria (SNC) langsung mendesak agar digelar sidang darurat Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk membahas dan menyetujui resolusi baru guna melindungi rakyat sipil. SNC juga melaporkan bahwa hampir 100 orang tewas di Hama dalam beberapa hari terakhir ini.
Stasiun televisi milik pemerintah menayangkan gambar beberapa bocah terluka di rumah sakit dan memberitakan bahwa sekelompok teroris menggunakan rumah itu untuk merakit bom. Bom tersebut meledak secara tidak disengaja. Sayangnya, laporan yang dirilis pemerintah itu tidak bisa diverifikasi secara independen karena media asing dilarang masuk ke Syria.
Sementara itu, sebuah video lain memperlihatkan bahwa seorang pria dikubur hidup-hidup oleh tentara pemerintah karena diduga telah mengirimkan rekaman kekerasan ke sejumlah stasiun televisi asing. Namun, keaslian video itu juga belum bisa dikonfirmasikan.
Dalam video tersebut, terlihat bahwa seorang pria, yang disebut sebagai aktivis media, meminta ampun agar tidak dibunuh ketika sejumlah tentara mulai menyekop tanah ke atas kepalanya dan menimbun dirinya. Pria itu pun terdiam. Sejumlah pria lain yang terlihat seperti tentara Syria lalu terdengar mengutuk dan mencaci-maki pria tersebut karena menerima uang setelah mengirimkan rekaman kekerasan ke stasiun televisi berbahasa Arab. Video tersebut dibocorkan oleh orang-orang yang bersimpati atas insiden tersebut.
Sejauh ini kekerasan terus berlanjut di Syria meskipun gencatan senjata berlaku pertengahan bulan lalu. Bahkan, kekerasan juga trejadi di lokasi di mana tim pemantau PBB ditempatkan. Sebelumnya, PBB menyatakan bahwa korban jiwa akibat kekerasan politik di Syria telah mencapai lebih dari 12 ribu jiwa. Ribuan warga lainnya juga mengungsi.
Menyikapi situasi di Syria, Prancis menyatakan bahwa sudah saatnya DK PBB memikirkan penggunaan kekuatan militer. Apalagi, jika rancangan perdamaian usulan Annan gagal menghentikan kekerasan di Syria. Salah satu poin penting dalam rancangan tersebut adalah meminta rezim Assad menarik seluruh pasukannya dari berbagai kota di Syria. Tetapi, seruan itu belum sepenuhnya dipatuhi.
Menurut Menlu Prancis Alan Juppe, jika proposal damai Annan gagal terwujud, dunia tidak boleh terus membiarkan rezim di Syria membangkang atau tak patuh. "Karena itu, kita harus bergerak menuju fase baru sebuah resolusi sesuai Bab Tujuh (Piagam PBB) untuk menghentikan tragedi (di Syria) ini," tuturnya.
Sebuah resolusi dalam Bab Tujuh Piagam PBB memberi wewenang kepada kekuatan asing untuk mengambil segala tindakan, termasuk opsi (serangan) militer.
Dalam perkembangan yang lain, putra mantan PM Syria Nofal al-Dawalibi menyatakan keinginannya membentuk pemerintahan di pengasingan. Tujuannya untuk mendukung oposisi dan mendorong dunia internasional melakukan intervensi militer. Dia menyatakan, SNC yang mendapat dukungan dari banyak negara terbukti telah gagal mencapai tujuan yang diinginkan rakyat Syria.
Al Dawalibi adalah putra Maarouf yang terpilih sebagai perdana menteri (PM) pada 1961. Namun, dia kemudian dipenjara dan melarikan diri ke Arab Saudi pada 1963. (BBC/AFP/RTR/AP/CNN/cak/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ketumpahan Yogurt, Obama Hanya Tersenyum
Redaktur : Tim Redaksi