JAKARTA--Penyelenggara acara yang disiarkan melalui media massa jangan lagi mengandalkan industri rokok sebagai penyokong dana (sponsor). Pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 109/2012 melarang itu. Sebaliknya, industri rokok diyakini tidak akan terkena masalah dari pemberlakuan aturan ini.
Melalui aturan baru yang akan berlaku setahun sejak diundangkan atau akan aktif mulai akhir 2013 itu pemerintah memang melakukan pengendalian iklan, termasuk program sponsor dan corporate social responsibility (CSR) produk tembakau. Pada umumnya tidak banyak yang berubah dari peraturan sebelumnya kecuali tentang larangan menjadi sponsor acara apapun jika dipublikasi atau ditayangkan di media massa.
Selama ini hal tersebut memang masih boleh dilakukan dan masih bisa diteruskan setidaknya sampai akhir tahun. Termasuk masih terjadi dalam acara siaran sepakbola atau cabang olahraga lainnya. Setelah itu, sesuai bunyi pasal 36 dari peraturan ini maka setiap orang yang memeroduksi dan atau mengmpor produk tembakau yang mensponsori suatu kegiatan lembaga dan atau perorangan kena ketentuan.
Ada dua ketentuan utama yaitu tidak menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau termasuk brand image produk tembakau. Brand image bisa berupa kata "Light", "ultra Light", "Mild", "Slim", "Special", "Full Flavour", "Premium", atau kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, atau kata serupa seperti selama ini sering muncul. Selain juga tidak boleh bertujuan untuk memeromosikan produk tembakau.
Sponsor sebagaimana dimaksud pada ketentuan itu dilarang untuk kegiatan lembaga atau perorangan yang diliput media atau disiarkan."Di dalam PP ini tidak ada larangan merokok. Tetapi ayo sama-sama kita menghindarkan orang di sekitar kita dari bahaya rokok," ujar Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, saat sosialisasi peraturan ini di kantornya, Rabu (23/1).
Staff Ahli Menkes bidang Mediko Legal, Budi Sampurna, mengatakan kegiatan sponsorship oleh perusahaan rokok masih diperbolehkan tetapi menyesuaikan aturan. Ketika diliput media massa maka sponsornya tidak boleh dimuat baik dalam bentuk tulisan, foto, maupun video. "Karena (kalau dimuat) sama dengan iklan," ucapnya.
Padahal, menurutnya, iklan untuk rokok sudah ada aturannya sendiri. Di televisi iklan produk ini sesuai pasal 29 hanya dapat ditayangkan setelah jam 21:30 sampai jam 05:00 waktu setempat. Aturan dengan rincian berbeda berlaku untuk jenis media lain termasuk media luar ruangan (outdoor).
PP ini juga bahkan mengatur program CSR yang dilakukan perusahaan rokok agar tidak lagi menggunakan merek atau logo produk rokok termasuk brand imagenya. Tidak bertujuan promosi, dan tidak boleh diliput media. "Sehingga kalau mau CSR begitu ya silakan berikan saja langsung," kata Budi.
Begitu juga dengan program CSR berupa pemberian bea siswa. Selama ini, menurutnya, masyarakat terutama pelajar dan usia produktif banyak salah menerjemahkan program ini sehingga terkesan bahwa rokok memang hebat mencetak para tenaga profesional, akademisi, atau atlet.
Namun pemberlakuan peraturan terbaru ini diyakini tidak akan berpengaruh signifikan terutama kepada beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia. Sebab masing-masing perusahaan sudah memiliki "kapal" lain berupa divisi bisnis atau anak usaha yang khusus mengurusi pencitraan, iklan, bahkan program CSR dengan brand image berbeda dari produk rokoknya.
Pengaruh terhadap penjualan juga tidak banyak sebab menurut Nafsiah, rokok memiliki zat adiktif menimbulkan loyalitas atau kecanduan dari para konsumennya.
Hanya saja para petani tembakau khawatir. Di banyak daerah petani komoditas ini sudah banyak berteriak bahwa PP 109/2012 berpotensi "membunuh" mereka secara perlahan. Menanggapi hal itu, Nafsiah menegaskan bahwa PP ini tidak melarang pertanian tembakau. Meskipun juga mendorong para petani tembakau untuk melakukan diversifikasi hasil panennya agar diproduksi menjadi produk tidak membahayakan bagi kesehatan.
Diversifikasi tembakau menurutnya dapat dilakukan antara lain dengan mengolah daun tembakau menjadi bahan kimia dasar untuk pestisida, obat bius, produk kosmetik (pengencang kulit), industri farmasi, dan sebagainya. Atau diminta mengganti dengan melakukan penanaman komoditas lain disesuaikan dengan kecocokan tanah di daerah masing-masing.
Lagipula, kata Nafsiah, petani tembakau lokal sudah bukan lagi sumber utama bagi perusahaan rokok besar di Indonesia dalam memeroleh bahan baku. "Di antara empat produsen besar di Indonesia sudah pilih tembakau impor. Sedikit sekali yang dari lokal. Maka kita sekarang sedang berupaya untuk naikkan cukai tembakau impor supaya mahal," tekadnya.
Koordinator Unit Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan Kemenkes, Soewarta Kosen, dalam datanya memaparkan bahwa beban ekonomi dari rokok cukup tinggi dan berpotensi semakin meningkat. Pada 2010, pembelian rokok menembus Rp 138 triliun. Biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan mencapai Rp 2,11 triliun; Rp 1,85 triliun di antaranya rawat inap dan Rp 0,26 triliun rawat jalan. Kehilangan produktivitas karena kematian prematur dan morbiditas-disabilitas sebesar Rp 105,3 triliun, sehingga total beban ekonomi mencapai Rp 245,41 triliun. Sementara total pendapatan negara dari cukai tembakau sepanjang tahun ini sebesar Rp 55 triliun.(gen)
Melalui aturan baru yang akan berlaku setahun sejak diundangkan atau akan aktif mulai akhir 2013 itu pemerintah memang melakukan pengendalian iklan, termasuk program sponsor dan corporate social responsibility (CSR) produk tembakau. Pada umumnya tidak banyak yang berubah dari peraturan sebelumnya kecuali tentang larangan menjadi sponsor acara apapun jika dipublikasi atau ditayangkan di media massa.
Selama ini hal tersebut memang masih boleh dilakukan dan masih bisa diteruskan setidaknya sampai akhir tahun. Termasuk masih terjadi dalam acara siaran sepakbola atau cabang olahraga lainnya. Setelah itu, sesuai bunyi pasal 36 dari peraturan ini maka setiap orang yang memeroduksi dan atau mengmpor produk tembakau yang mensponsori suatu kegiatan lembaga dan atau perorangan kena ketentuan.
Ada dua ketentuan utama yaitu tidak menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau termasuk brand image produk tembakau. Brand image bisa berupa kata "Light", "ultra Light", "Mild", "Slim", "Special", "Full Flavour", "Premium", atau kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, atau kata serupa seperti selama ini sering muncul. Selain juga tidak boleh bertujuan untuk memeromosikan produk tembakau.
Sponsor sebagaimana dimaksud pada ketentuan itu dilarang untuk kegiatan lembaga atau perorangan yang diliput media atau disiarkan."Di dalam PP ini tidak ada larangan merokok. Tetapi ayo sama-sama kita menghindarkan orang di sekitar kita dari bahaya rokok," ujar Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, saat sosialisasi peraturan ini di kantornya, Rabu (23/1).
Staff Ahli Menkes bidang Mediko Legal, Budi Sampurna, mengatakan kegiatan sponsorship oleh perusahaan rokok masih diperbolehkan tetapi menyesuaikan aturan. Ketika diliput media massa maka sponsornya tidak boleh dimuat baik dalam bentuk tulisan, foto, maupun video. "Karena (kalau dimuat) sama dengan iklan," ucapnya.
Padahal, menurutnya, iklan untuk rokok sudah ada aturannya sendiri. Di televisi iklan produk ini sesuai pasal 29 hanya dapat ditayangkan setelah jam 21:30 sampai jam 05:00 waktu setempat. Aturan dengan rincian berbeda berlaku untuk jenis media lain termasuk media luar ruangan (outdoor).
PP ini juga bahkan mengatur program CSR yang dilakukan perusahaan rokok agar tidak lagi menggunakan merek atau logo produk rokok termasuk brand imagenya. Tidak bertujuan promosi, dan tidak boleh diliput media. "Sehingga kalau mau CSR begitu ya silakan berikan saja langsung," kata Budi.
Begitu juga dengan program CSR berupa pemberian bea siswa. Selama ini, menurutnya, masyarakat terutama pelajar dan usia produktif banyak salah menerjemahkan program ini sehingga terkesan bahwa rokok memang hebat mencetak para tenaga profesional, akademisi, atau atlet.
Namun pemberlakuan peraturan terbaru ini diyakini tidak akan berpengaruh signifikan terutama kepada beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia. Sebab masing-masing perusahaan sudah memiliki "kapal" lain berupa divisi bisnis atau anak usaha yang khusus mengurusi pencitraan, iklan, bahkan program CSR dengan brand image berbeda dari produk rokoknya.
Pengaruh terhadap penjualan juga tidak banyak sebab menurut Nafsiah, rokok memiliki zat adiktif menimbulkan loyalitas atau kecanduan dari para konsumennya.
Hanya saja para petani tembakau khawatir. Di banyak daerah petani komoditas ini sudah banyak berteriak bahwa PP 109/2012 berpotensi "membunuh" mereka secara perlahan. Menanggapi hal itu, Nafsiah menegaskan bahwa PP ini tidak melarang pertanian tembakau. Meskipun juga mendorong para petani tembakau untuk melakukan diversifikasi hasil panennya agar diproduksi menjadi produk tidak membahayakan bagi kesehatan.
Diversifikasi tembakau menurutnya dapat dilakukan antara lain dengan mengolah daun tembakau menjadi bahan kimia dasar untuk pestisida, obat bius, produk kosmetik (pengencang kulit), industri farmasi, dan sebagainya. Atau diminta mengganti dengan melakukan penanaman komoditas lain disesuaikan dengan kecocokan tanah di daerah masing-masing.
Lagipula, kata Nafsiah, petani tembakau lokal sudah bukan lagi sumber utama bagi perusahaan rokok besar di Indonesia dalam memeroleh bahan baku. "Di antara empat produsen besar di Indonesia sudah pilih tembakau impor. Sedikit sekali yang dari lokal. Maka kita sekarang sedang berupaya untuk naikkan cukai tembakau impor supaya mahal," tekadnya.
Koordinator Unit Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan Kemenkes, Soewarta Kosen, dalam datanya memaparkan bahwa beban ekonomi dari rokok cukup tinggi dan berpotensi semakin meningkat. Pada 2010, pembelian rokok menembus Rp 138 triliun. Biaya perawatan medis rawat inap dan rawat jalan mencapai Rp 2,11 triliun; Rp 1,85 triliun di antaranya rawat inap dan Rp 0,26 triliun rawat jalan. Kehilangan produktivitas karena kematian prematur dan morbiditas-disabilitas sebesar Rp 105,3 triliun, sehingga total beban ekonomi mencapai Rp 245,41 triliun. Sementara total pendapatan negara dari cukai tembakau sepanjang tahun ini sebesar Rp 55 triliun.(gen)
BACA ARTIKEL LAINNYA... LPSK Sediakan Pelayanan Kesehatan dan Kejiwaan
Redaktur : Tim Redaksi