Rokok Ilegal Dinilai jadi Pemicu Penurunan Cukai Tembakau

Selasa, 02 April 2024 – 15:20 WIB
Tumpukan rokok ilegal yang disita petugas Bea Cukai Sidoarjo. ilustrasi. Foto: Dokumentasi Bea Cukai

jpnn.com, JAKARTA - Penerimaan cukai dari produk tembakau turun Rp 5 triliun dari Rp 218 triliun pada 2022, menjadi Rp 213 triliun pada 2023.

Senior Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyatakan penurunan cukai produk tembakau belum tentu disebabkan karena masyarakat mengurangi konsumsi rokok.

BACA JUGA: Bea Cukai Fasilitasi Pengiriman 900 Paket Parasut Bantuan Pemerintah RI untuk Palestina

"Penurunan cukai tembakau saat ini juga disebabkan oleh tingginya harga komoditas lain, seperti halnya bahan pokok. Sehingga dengan adanya kenaikan ini, masyarakat beralih ke rokok ilegal," kata Tauhid saat dikonfirmasi JPNN, Selasa (2/4).

Tauhid menjelaskan kenaikan cukai juga berkaitan dengan situasi ekonomi. Sebab, ketika pertumbuhan ekonomi stagnan justru akan membuka ruang bagi para produsen rokok ilegal. Maka, kebijakan pengendalian tembakau harus dilihat dari berbagai aspek, baik fiskal maupun non-fiskal.

BACA JUGA: Bea Cukai Malang dan Banyuwangi Berantas Rokok Ilegal Lewat Cara Ini

Di sisi lain, pemerintah saat ini sedang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah Kesehatan (RPP Kesehatan).

Rancangan Peraturan ini merupakan aturan turunan dari Undang-undang Kesehatan yang mengandung banyak muatan, mulai dari persoalan tenaga kesehatan hingga pengetatan produk tembakau dari sisi fiskal dan non-fiskal.

Koordinator Bidang Hubungan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Feryando Agung sebelumnya tak menyangkal bahwa RPP Kesehatan akan berdampak pada industri tembakau. Hal-hal yang mencuat jadi pembahasan ialah kelangsungan industri, hubungan kerja, pemasukan bagi negara, dan komoditas tani.

"Kami menilai bahwa RPP ini sesungguhnya baik adanya, tetapi dalam pelaksanaannya tentu menimbulkan dampak bagi industri,” kata Feryando pada diskusi di Gedung Tempo (18/3).

Sejak kemunculannya, RPP Kesehatan menimbulkan berbagai kontroversi. Pakar hukum Feri Amsari menyoroti metode omnibus yang digunakan pada tataran RPP Kesehatan.

Feri menyatakan penggunaan metode omnibus sendiri sudah banyak ditinggalkan oleh banyak negara.

“Larangan omnibus di Amerika sampai masuk ke konstitusi karena memang metode ini dipandang memiliki kecenderungan dapat mengakomodir pasal titipan,” kata Feri pada diskusi di Gedung Tempo (18/3).

Pada saat yang sama, Feri mengatakan publik dan organisasi masyarakat mesti terlibat dalam penyusunan kebijakan publik, termasuk RPP Kesehatan.

Sebab, yang akan terkena dampak dari kebijakan tersebut adalah publik sendiri. Sebaliknya, akan jadi preseden tidak baik bila peraturan disusun tidak mengajak bicara organisasi dan para pemangku kepentingan lainnya.(mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler