JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bangka Belitung, Ismiryadi mensinyalir negara banyak kehilangan pendapatan atas royalti ekspor timah akibat masih maraknya praktik ekspor timah ilegal.
Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 78/M-DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Ekspor Timah yang berlaku efektif per tanggal 1 Januari 2013, seluruh produk timah yang dibatasi ekspornya hanya bisa diekspor jika telah dilengkapi dengan bukti pelunasan pembayaran iuran produksi atau royalti yang dikeluarakan PT Surveyor Indonesia dan PT Sucofindo.
Jika mengacu pada data rekapitulasi laporan surveyor pada periode Januari 2013 yang dikeluarkan PT Surveyor Indonesia dan PT Sucofindo, total royalti yang diterima negara hanya sebesar USD 6,5 juta. Jumlah tersebut diperoleh dari realisasi ekspor timah sebesar 9.154,71 ton yang tercatat dari 121 LS (Laporan Surveyor) dengan nilai FOB sebesar USD 216,45 juta.
"Saya minta, berulang-ulang kali dan menurut saya, 1 persen pun kadar timah yang keluar dari Bangka Belitung harus bayar royalti mau apa pun bentuknya. Namun, pihak Bea Cukai tidak bicara kandungan, tapi bicara tonase," kata Ismiryadi kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (7/3).
Ismiryadi sendiri mensinyalir, praktik-praktik ekspor timah ilegal tersebut banyak dilakukan di luar Provinsi Bangka Belitung sebagai daerah penghasil, untuk menghindari pembayaran royalti kepada negara.
"Bagi kami pemerintah daerah, terutama daerah penghasil konsekuensi dari tambang itu adalah royalti. Karena masih banyak pengusaha-pengusaha nakal yang kirim via Jakarta maupun Surabaya dan tidak membayarkan royalti di daerah penghasil. Dalam hal ini kami dirugikan dan saya mengatakan berdasarkan data dan itu sering mereka kirim dari Bangka ke Jakarta," ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara yang mendesak pemerintah untuk segera menindak oknum aparat serta pengusaha nakal yang terlibat dalam praktik penyelundupan timah di Provinsi Bangka Belitung.
Menurut Marwan, praktik-praktik penyelundupan timah untuk menghindari pembayaran royalti ekspor ke negara maupun daerah penghasil merupakan penyakit lama yang hingga kini belum bisa diberantas oleh pemerintah.
"Buktinya smelter di Malaysia dan Singapura masih terus berproduksi, padahal seharusnya sekarang mereka sudah tidak bisa berproduksi lagi karena bahan bakunya selama ini dipasok dari Provinsi Bangka Belitung," tegas Marwan.
Menurutnya, akibat lemahnya law enforcement, pada akhirnya merugikan pemerintah dan pengusaha yang selama ini taat aturan.
Baik Marwan maupun Ismiryadi berharap pemerintah bisa tegas dalam mengawal dan mengawasi isi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 78/M-DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Ekspor Timah.
"Khusus untuk timah, data tahun 2006 cadangan yang kita miliki sebesar 900.000 ton. Kalau setiap tahunnya diekspor sebesar 60.000 hingga 90.000 ton, maka cadangan yang kita miliki saat ini hanya tersisa untuk 10 hingga 12 tahun ke depan. Kalau tidak dikelola dengan benar potensi timah yang ada di Indonesia akan terus dinikmati oleh negara-negara lain," ungkapnya.
Dia juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak tegas dalam menentukan lokasi pembangunan pabrik pengolahan timah, yang saat ini justru dibangun bukan di Provinsi Bangka Belitung sebagai daerah penghasil bahan baku.
"Saya juga tidak habis pikir mengapa pabrik tin chemical yang nilai tambah produknya 20 kali lipat dari produk hulu justru dibangun di Banten, padahal seharusnya pabrik tersebut dibangun daerah penghasil agar royaltinya juga dinikmati oleh masyarakatnya," ujarnya. (jar)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Swasembada Sapi Lima Tahun Lagi
Redaktur : Tim Redaksi