jpnn.com - JAKARTA - Pemerintah perlu segera merampungkan revisi tarif pembayaran rumah sakit atau INA CBGs (Indonesia Case Base Groups) dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sebab, di lapangan, RS sudah mulai melakukan kecurangan untuk menutupi anggaran mereka. Modus yang paling sering digunakan adalah mark up tagihan obat.
BACA JUGA: Baru Empat Instansi Siap Terima Pelamar CPNS
Direktur Eksekutif Indonesian Hospital and Clinic Watch (INHOTCH), Fikri Suadu mengatakan, dugaan RS nakal ini muncul dari keuntungan yang diperoleh oleh pihak RS. Pasalnya, tarif yang dikatakan sangat merugikan oleh mereka, justru mendatangkan keuntungan. Hal itu diduga karena adanya mark up pada tarif pelayanan INA CBGs.
"Yang paling sederhana adalah rekam medis yang tidak sesuai dengan kondisi rill pasien. Seperti pasang infuse sekali, ditulis klaim ke BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) kesehatan sebanyak tiga kali," ungkap Fikri.
BACA JUGA: Muhaimin Belum Diajak Jokowi Bahas Kabinet
Meski telah mengetahui modus-modus mark up tersebut, Fikri mengaku belum mengantongi RS mana saja yang telah melakukan modus tersebut. Sehingga ia belum bisa menafsirkan berapa besar kerugian BPJS Kesehatan akibat tindakan tersebut.
"Karena data tersebut sulit diakses. BPJS kesehatan pun kurang transparan terhadap hal tersebut," pungkasnya.
BACA JUGA: Jokowi: Ada Pansus Pilpres, Bagus Kok
Oleh karenanya, Fikri mengusulkan untuk dibentuk lembaga pengawasan independen untuk mengawasi peluang kecurangan itu di RS. Menurutnya, selama ini masih belum ada lembaga yang intens dibiayai pemerintah untuk mengawasi. Bahkan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan BPJS kesehatan tidak memiliki tupoksi untuk melakukan pengawasan secara mendetail.
Akan tetapi menurutnya, hal yang paling mendesak untuk segera dirampungkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adlaah revisi tarif INA CBGs itu sendiri. Agar tidak mengulangi kesalahan dalam membuat tarif INA CBGs, Fikri meminta agar seluruh organisasi profesi dapat diikutsertakan.
Tidak hanya Kemenkes bersama BPJS Kesehatan dan DJSN saja. "Harus melibatkan semua komponen terkait yang terlibat langsung dalam pelayanan kesehatan. Sebelumnya tidak betul-betul dan secara serius melibatkan mereka," tuturnya.
Senada dengan Fikri, Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengungkapkan, bahwa masalah mark up biaya INA CBGs ini memang telah lama terjadi di beberapa RS. Bahkan, Timboel menduga, hal ini terjadi dengan sepengetahuan pihak BPJS kesehatan.
"Saya menduga kuat bahwa hal ini terjadi sepengetahuan BPJS Kesehatan karena permintaan RS yg meminta biaya sesuai dgn tarif RS. karena, ketika BPJS Kesehatan menolak maka RS akan memulangkang atau membiarkan pasien, dan hal ini yg menyebabkan BPJS kesehatan membiarkan mark up tersebut terjadi," urainya.
Timboel mengatakan, mark up ini akan berpotensi menyebabkan bpjs kesehatan menjadi defisit jika tidak segera dihentikan. Pekerjaan ini seharusnya bisa dilakukan lebih awal oleh oleh dewan pengawas (Dewas) BPJS Kesehatan. Tapi sayangnya, kata dia, Dewas selama ini tidak bekerja.
"DJSN juga bisa mendeteksi mark up ini, tetapi sampai saat ini tidak ada evaluasi dari DJSN. Mark up ini sebuah pelaanggaran dan harus segera diusut secara tuntas dan menghukum pihak RS maupun BPJS kesehatan yg terlibat mark up," tandasnya.
Selain karena tarif INA CBGs yang tak juga direvisi, peluang kecurangan RS ini muncul karena tak adanya menetapkan Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS) di tingkat pusat dan propinsi, sesuai PP 89/2013. Padahal dengan adanya BPRS, RS dapat diawasi secara menyeluruh. (mia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... MA Dipercaya Tolak Uji Materi Prabowo-Hatta
Redaktur : Tim Redaksi