JAKARTA - Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjen Dikti Kemdikbud) Djoko Santoso mewanti-wanti para mahasiswa kedokteran tidak seenaknya memperlakukan pasien yang berobat di Rumah Sakit (RS) Pendidikan.
Meski Djoko menegaskan bahwa sesuai UU, RS Pendidikan memang menjadi semacam labolatoriumnya para mahasiswa kedokteran, tapi visi RS sebagai pelayan masyarakat tetap harus dipegang teguh.
"Meskipun itu laboratorium para mahasiswa fakultas kedokteran tapi bagaimana pun, Rumah Sakit Pendidikan itu tetap harus bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan baik," ujar Djoko Santoso kepada JPNN, kemarin.
Tapi ada keluhan masyarakat, pasien di RS Pendidikan sering diambil sampel darahnya hingga berulang kali oleh mahasiswa kedokteran, seolah pasien jadi kelinci percobaan?
"Itu kan hanya menyangkut tata cara proses pembelajaran dan bagaimana pengelolaan pasien. Itu kan bisa diatur dalam pengelolaan teknis. Tapi kalau itu memang terjadi, ya harus dibenahi. Jangan sampai begitu," jawab Djoko.
Dikatakan, kalau memang keberadaan dan tindakan dari dokter co-asst itu dinilai merugikan para pasien, yang harus bertanggung jawab adalah para dokter atau dosen Fakultas Kedokteran yang juga praktek di rumah sakit tersebut.
Disebutkan, jumlah RS Pendidikan Kedokteran saat sudah ada 16 RS, dari 19 yang direncanakan. Saat ini, tidak semua Fakultas Kedokteran memiliki RS Pendidikan sendiri. Sebagian ada yang menggunakan rumah sakit-rumah sakit yang dikelola oleh kementerian kesehatan, seperti Fakultas Kedokteran USU. "Ke depan, memang beberapa universitas akan dibangunkan rumah sakit pendidikan itu," ujarnya.
Nantinya, RS Pendidikan tak hanya untuk praktek mahasiswa kedokteran, tapi juga mahasiswa jurusan manajemen rumah sakit, keperawatan, kebidanan, tata kelola keuangan rumah sakit, dan lain sebagainya. "Jadi memang diupayakan bahwa rumah sakit pendidikan itu dijadikan tempat pendidikan yang komprehensif," pungkasnya.
Terpisah, Roder Nababan dari LBH Kesehatan Alwalindo menilai, memang selama ini pasien di RS Pendidikan dijadikan semacam kelinci percobaan. "Tanpa pasien diberitahu untuk apa, diambil sampel darahnya bisa tiga kali sehari. Terutama jika pasiennya miskin, betul-betul dijadikan kelinci percobaan," ujar Roder, yang juga seorang pengacara asal Tapanuli Utara itu.
Sesuai ketentuan, RS Pendidikan juga melayani program-program pelayanan kesehatan warga miskin, seperti Jampersal dan Jamkesmas. Tapi, lanjutnya, faktanya warga miskin tetap dipersulit.
Namun, Roder tidak sepenuhnya menyalahkan petugas RS. Menurutnya, banyak petugas yang memang belum tahu program seperti Jampersal. "Saya menilai sosialisasinya kurang. Padahal, ada dana untuk sosialisasi. Ada yang mengambil keuntungan pribadi dari program-program semacam itu," ujarnya tanpa menyebut siapa mereka itu. (cha/sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 67.000 Guru Terancam Tak Tersertifikasi
Redaktur : Tim Redaksi