jpnn.com, JAKARTA - Seorang wanita mengaku diminta menandatangani surat persetujuan untuk mengubah hasil tes Covid-19 dari negatif menjadi positif.
Pengakuan ini diunggah dalam akun TikTok @tirtasiregar yang telah ditonton sebanyak 37.400 kali.
BACA JUGA: Inggris Ingin Berhenti Buang-Buang Duit untuk Tes Covid
Menurut dia, permintaan tersebut dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cipayung, Jakarta Timur. Saat itu, Tirta mengaku sedang membawa sang ibu yang sakit ke rumah sakit tersebut.
“Hati-hati nih ya, kalau sakit jangan langsung dibawa ke rumah sakit atau UGD apalagi kalau batuk, pilek, dan sebagainya. Ini baru kejadian sama kami. Saya bawa ibu saya ke RSUD Cipayung itu saya diminta tandatangan bersedia dicovidkan. Walaupun hasilnya negatif,” ucap Tirta di akunnya.
BACA JUGA: Begini Reaksi Bilqis Saat Ayu Ting Ting Positif Covid-19
Padahal, kata dia, sebelum dibawa ke RSUD Cipayung, sang ibu telah melakukan tes Covid-19 dan dinyatakan negatif.
Namun, oleh pihak rumah sakit yang bersangkutan, dirinya diminta persetujuan untuk mengubah hasil apabila ibunya hendak dirawat.
BACA JUGA: Ayu Ting Ting Positif Covid-19, Ini yang Dilakukan sehingga Cepat Pulih
“Karena sebelum dibawa ke situ sebelumnya dites dan hasil tesnya negatif covid, nah saya tunjukkan. Tetapi dibilang di sini walaupun hasil negatif tetapi harus mau dicovidkan. Rumah sakit umum daerah loh Cipayung, milik pemerintah,” tuturnya.
Menanggapi hal ini, Direktur RSUD Cipayung dr. Ekonugroho Budhi Prasetyo mengatakan bahwa hal tersebut tidak benar.
Pada kasus tersebut, pasien berinisial M yang sudah berusia 64 tahun berobat ke RSUD Cipayung pada 16 Februari 2022 pukul 22.15 WIB, dengan keluhan batuk dan sesak sejak satu minggu sebelumnya.
Pasien juga membawa hasil pemeriksaan swab rapid antigen yang dilakukan 5 hari sebelumnya dengan hasil negatif.
Pihak dokter mempertimbangkan kondisi pasien saat itu dengan perjalanan sakit yang telah satu minggu, ditambah pasien yang berusia lanjut serta mempunyai penyakit komorbid hipertensi dan asma.
Dokter kemudian merencanakan untuk melakukan pemeriksaan dengan rapid antigen ulang sekaligus akan dilakukan pemeriksaan PCR.
“Hal ini semata-mata agar pasien mendapat penanganan yang sesuai dengan jenis sakit dan kebutuhan pengobatannya,” ujar Ekonugroho, Minggu (20/2).
Selain itu, kata dia, pemeriksaan tersebut juga untuk memastikan agar tempat perawatan sesuai, mencegah pasien Covid-19 bercampur tempat perawatan dengan pasien bukan Covid-19.
Pada saat penjelasan dan permintaan persetujuan tertulis tentang rencana pemeriksaan dan penempatan sementara pasien, sebelum pasti apakah pasien menderita Covid-19 atau bukan, keluarga justru menganggap bahwa prosedur tersebut sebagai ‘mengcovidkan’ pasien.
“Keluarga menolak mengikuti rencana penanganan pasien dan selanjutnya membawa pulang pasien,” jelasnya.
Dia lalu menjelaskan, bahwa kemampuan alat tes untuk mengetahui apakah seseorang benar menderita Covid-19 atau tidak, berbeda seiring perjalanan penyakit.
Secara umum, pemeriksaan dengan PCR mempunyai tingkat akurasi paling tinggi sehingga menjadi acuan utama untuk penegakan diagnosis Covid-19.
“Pemeriksaan rapid antigen pada awal sakit, bisa jadi memberikan hasil ‘masih negatif’, karena jumlah virus yang masih terlalu rendah untuk bisa dideteksi oleh tes rapid antigen, namun hanya bisa terdeteksi dengan tes PCR,” tambahnya. (mcr4/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur : Adil
Reporter : Ryana Aryadita Umasugi