jpnn.com, SEOUL - Bagi pemerintah Korea Utara, Amerika Serikat adalah musuh besar yang harus dibenci rakyat. Karenannya, Pyongyang tak pernah lelah melancarkan propaganda anti Negeri Paman Sam.
Salah satu bentuk propaganda itu adalah peringatan bulan anti-Impreialsme. Tahun ini peringatan yang berlangsung selama sebulan dan berbarengan dengan anniversary Perang Korea tersebut ditandai dengan dua prangko bertema perjuangan melawan imperialisme Amerika Serikat (AS).
BACA JUGA: AS Ingin Belajar Penanggulangan Terorisme dari Indonesia
Sejak diperkenalkan akhir Juni lalu, prangko itu sudah tersebar ke berbagai negara. ’’Gambar dua prangko terbaru Korut itu berbicara banyak tentang krisis nuklir yang dipicu perkembangan teknologi rudal negara tersebut,’’ kata Koen de Ceuster, pengamat Korut dari Leiden University.
Kemarin, Senin (17/7), CNN menunjukkan gambar dua prangko tematik yang dirilis pada 25 Juni itu. Ada gambar rudal dan lambang AS pada prangko colorful tersebut.
BACA JUGA: Amerika Serikat Serukan Aksi Global Memusuhi Korut
Pada prangko pertama yang didominasi warna biru tampak sebuah tangan mengepal. Tangan tersebut meninju rudal bertulisan USA atau AS sampai patah.
Di bagian atas tampak bendera Korut yang berkibar. Di bagian bawah prangko terlihat gambar bendera AS yang robek. ’’Itu cara Korut untuk mengklaim bahwa Gedung Putih kini berada dalam jangkauan tangan mereka,’’ kata Ceuster.
BACA JUGA: Kim Jong-un Girang Banget Sukses Uji Coba Misil
Pada prangko kedua, terlihat tujuh hulu ledak nuklir berwarna merah yang semuanya mengarah pada satu target. Yakni, Capitol Hill. Di bagian atas prangko itu terlihat tangan yang menarik pelatuk pistol.
Ceuster menyebut dua prangko itu sebagai cara Korut untuk menarik perhatian internasional. Sebab, meski pasarnya kian menyusut, prangko-prangko Korut menjadi incaran kolektor dari seluruh penjuru dunia.
Korut selalu berada dalam kondisi bermusuhan dengan AS karena negara tersebut berpihak pada Korsel saat terjadi Perang Korea pada 25 Juni 1950–27 Juli 1953.
Perang tersebut sejatinya belum berakhir. Korsel dan Korut hanya sepakat untuk gencatan senjata. Gencatan senjata itu pun sudah berlangsung lebih dari setengah abad.
Karena itu, ketegangan sangat terasa di Semenanjung Korea. Ditambah lagi, Korut gemar menguji coba rudal miliknya.
Kemarin Moon Jae-in yang dua bulan lalu baru terpilih sebagai presiden Korsel berusaha mewujudkan niatnya untuk merangkul Korut.
Secara formal, pemimpin 64 tahun tersebut mengajak Korut untuk berdialog militer. Jika Pyongyang menerima undangan tersebut, dialog militer dua Korea itu bakal menjadi yang pertama.
Dalam surat resminya, Moon menyatakan bahwa dialog militer tersebut bisa dilangsungkan pekan ini. Pengganti Park Geun-hye itu berharap dialog tersebut membuahkan aksi nyata untuk mengurangi bentrok di perbatasan Korut dan Korsel.
’’Dialog dan kerja sama dua Korea akan menjadi cara paling efektif untuk meredam ketegangan dan mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea,’’ kata Cho Myoung-gyon, menteri unifikasi Korsel.
Kementerian Pertahanan Korsel mencantumkan 21 Juli sebagai tanggal pertemuan dua Korea untuk membahas keamanan. Rencananya, dialog itu berlangsung di Gedung Tongilgak di Desa Panmunjom, Provinsi North Hwanghae, perbatasan dua negara.
Dengan demikian, mau tidak mau lokasi di sekitar garis demarkasi alias DMZ harus steril dan benar-benar aman.
Tahun lalu Korut menghentikan seluruh sambungan telepon pemerintah dan militer di perbatasan dua negara. Hal itu terjadi setelah Korsel memberlakukan blokade ekonomi atas Korut pascauji coba nuklir.
Cho berharap sambungan telepon tersebut bisa kembali difungsikan seperti semula. Sebab, putusnya komunikasi di perbatasan dua negara justru membuat hubungan Korut dan Korsel kian buruk. (Reuters/CNN/hep/c15/any)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nenek 74 Tahun Ini Presenter Khusus Berita Bom dan Misil di Korut
Redaktur & Reporter : Adil