jpnn.com, JAKARTA - Keinginan Menristekdikti Mohamad Nasir agar ilmuwan diaspora menjadi dosen di perguruan tinggi di Indonesia mendapat respons positif. Para diaspora tidak keberatan berkarir di Indonesia. Namun, ada kekhawatiran jenjang karir maupun gajinya tidak jelas.
"Kami diaspora ingin sekali membangun negeri ini, makanya saya fasilitasi sekitar 10 dosen untuk belajar di Jerman. Di sana saya minta mereka pelajari betul-betul tentang nano teknologi," kata Dr Ing Hutomo Suryo Wasisto, ilmuwan muda diaspora dalam diskusi Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) yang digelar Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti, Kemenristekdikti dan Dirjen Diplomasi Publik, Kementerian Luar Negeri, serta Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (1-4), Senin (19/8).
BACA JUGA: Ini 20 Politeknik Negeri dengan Rangking Tertinggi di Indonesia
Begitu menyelesaikan studinya, lanjut Mas Ito - sapaan karib Hutomo- mereka diminta balik ke Indonesia. Kemudian membangun startup di bidang nano teknologi
"Insyaallah tahun depan, saya bersama kawan-kawan bikin startup bidang nano teknologi. Walaupun saya tetap kerja di Jerman tapi ilmu saya tetap dikembangkan di Indonesia," terangnya.
BACA JUGA: Ranking PTN 2019: UGM Peringkat 2, UI Terus Merosot, Mengapa ya?
Mantan Dirjen Dikti Prof Dr Fasli Jalal mengungkapkan, ide pemerintah untuk memanggil diaspora menjadi dosen di perguruan tinggi di Indonesia cukup bagus.
BACA JUGA: Singapura dan Arab Saudi Sudah pakai Rektor Asing, Prestasi Melejit
BACA JUGA: Menteri Nasir Ingin Diaspora jadi Dosen Tetap di Indonesia
Sebab, mencari dosen itu tidak harus semua yang baru-baru. Jadi di level manapun dia, pernah punya pengalaman di industri, di luar negeri itu bisa dicek kelayakan jabatan fungsional akademiknya bagaimana.
"Jadi tidak harus dimulai dari tenaga pengajar atau asisten ahli. Dia bisa saja dengan segala kekayaan pengalaman kemudian publikasi segala macam dia bisa jadi profesor atau Lektor kepala. Bisa juga jadi Lektor atau asisten. Jadi itu yang dimudahkan," bebernya.
Kemudahan itu, lanjut Fasli, harusnya jadi daya tarik para diaspora yang mau kembali ke Indonesia. Masalah salary sesuai dengan kondisi yang ada di Indonesia.
"Namun, dengan adanya tunjangan profesi, dana hasil penelitian, kemudian kalau dia guru besar dapat lagi tunjangan kehormatan itu sudah memungkinkan salary-nya mendekati. Namun, untuk guru besar terutama, dia harus komit ke arah guru besar," tambah Fasli.
Walaupun setuju diaspora jadi dosen di Indonesia, tetapi menurut Fasli, tidak usah semua ditarik ke dalam negeri.
"Rugi kita kalau tarik mereka semua ke Indonesia. Kita kan harus punya diaspora yang mencari pengalaman di mana-mana dan jaringan itu mereka bisa dipakai untuk menerima mahasiswa kita, menerima magang. Justru hendaknya makin banyak diaspora kita di dunia makin membantu juga," tandasnya. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ilmuwan Diaspora Minta Eksekusi Pemindahan Ibu Kota Harus Cermat
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad