Rumah Cicit Pangeran Diponegoro Dieksekusi

Sengketa Kepemilikan Surat Tanah dengan PPI

Jumat, 13 April 2012 – 02:20 WIB
Rumah cicit Pangeran Diponegoro, Muhammad Maulud, akhirnya dieksekusi pihak juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/4). Proses eksekusi berlangsung ricuh setelag negosiasi antara pengacara keluarga, Farhat Abbas dengan pihak Juru Sita Mahkamah Agung, Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Kapolsek Menteng berakhir buntu. Foto : Arundono/JPNN

JAKARTA - Siapa tidak kenal pahlawan nasional Pangeran Diponegoro? Kini, ratusan tahun setelah perjuangan heroiknya melawan Belanda, kisah sedih menyangkut keluarga Pangeran Diponegoro terjadi. Rumah cicit Pangeran Diponegoro, Muhammad Maulud, di Jalan Blitar 3 Menteng, Jakarta Pusat, dieksekusi pihak juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (12/4) sore.
     
Puluhan orang dari PN Jakarta Pusat beserta petugas gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP mengeksekusi rumah tersebut. Saat juru sita membacakan surat keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, salah eorang anggota keluarga merampas dan merobek surat. Aksi saling dorong antara keluarga dan petugas pun tak terelakkan. "Ngapain mereka bawa garnisun dan polisi segala. Kita ini anak bangsa," kata Maulud.
     
Pengacara keluarga, Farhat Abbas, berusaha menenangkan pihak keluarga. Namun, mereka hanya bisa histeris menyaksikan petugas juru sita membawa isi rumah ke dalam truk yang sudah disiapkan.

"Klien saya sedang berduka. Pemilik rumah ini, Ibu Sukartinah, belum lama meninggal. Eksekusinya mohon ditunda," kata Farhat. Namun, pihak juru sita tetap tidak peduli.

Sengketa rumah tersebut berawal pada 1987. Saat itu, Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) melayangkan gugatan atas rumah dan tanah yang ditempati Sukartinah. Pihak PPI menganggap surat tanah yang dimiliki pemilik rumah tidak sah. Alasannya, surat pembelian rumah pada 1952 atas nama R. Soekardjono dari perusahaan Belanda NV Lettergieterij Amsterdam tidak lagi berhak menerbitkan surat setelah perusahaan tersebut dinasionalisasi.

Masalah itu berlanjut ke pengadilan hingga Mahkamah Agung (MA). Hasilnya, majelis hakim MA mengabulkan permohonan kasasi PT. PPI per 14 September 2009.
     
Maulud mengungkapkan, kepemilikan rumah seluas 860 meter persegi itu bermula saat ayahnya bekerja di perusahaan Belanda tersebut. Karena sudah lama bekerja, R. Soekardjono diberi kesempatan untuk membeli rumah itu dengan cara mencicil Rp 10 ribu per bulan. Nah, pada 1957 perusahaan Belanda tersebut dinasionalisasi dan berganti nama menjadi Perusahaan Perdagangan Indonesia.

Robert Simanjuntak, pengelola aset PPI menjelaskan, PPI memiliki sertifikat sah atas rumah tersebut. Keluarga Sukartinah pernah mengajukan rencana untuk membeli rumah tersebut dengan harga Rp 3 juta per meter persegi.

Namun, pembelian rumah itu terbentur aturan. Hal itu karena sebelumnya ada peraturan Kementerian Keuangan tahun 1994 yang menyatakan, pihak seperti Sukartinah bisa membeli dengan potongan harga 50 persen. Namun, PPI tidak menjualnya dengan alasan ada ketentuan Kementerian BUMN yang menyatakan bahwa aturan Menkeu itu sudah dicabut. (dew/jpnn/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Ingatkan Manajemen IFT Penuhi Hak Karyawan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler