jpnn.com, JAKARTA - Polemik UU KPK hasil revisi membuat tekanan politik ke Presiden Joko Widodo lewat demonstrasi mahasiswa yang menuntut dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) semakin meluas.
Menanggapi hal itu, Rumah Gerakan 98 memahami sikap yang dilakukan oleh mahasiswa sebagai kekuatan moral yang kerap diperankan oleh mahasiswa dalam sejarah perubahan di Indonesia.
BACA JUGA: Saran Pak Syarif untuk Presiden Jokowi soal Polemik Perppu KPK
Tetapi, Rumah Gerakan 98 mengaku prihatin atas sikap yang diambil oleh para tokoh masyarakat dan cendekiawan yang bukannya menyejukan dan menenangkan situasi, tapi justru ikut memanaskan keadaan dengan mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu.
“Padahal kita semua sudah sepakat dan memiliki konsensus bernegara bila terjadi konflik yang berkaitan dengan produk perundang-undangan, maka negara sudah menyediakan saluran penyelesaiannya yakni di Mahkamah Konstitusi (MK),” ujar Ketua Umum Rumah Gerakan 98, Bernard AM Haloho, di Jakarta, Minggu (29/9).
BACA JUGA: Presiden Jokowi Diminta tidak Merilis Perppu UU KPK, Kenapa?
MK, lanjut Bernard, dibentuk dari produk amanat reformasi yang melahirkan sistem demokrasi di Indonesia. “Dan demokrasi yang sudah dirawat selama 20 tahun, hanya bisa terus bertumbuh semakin berkualitas jika di dalamnya ada penghormatan terhadap hukum,” katanya.
“Kami hormat dan salut setinggi-tingginya kepada Jenderal Prabowo dan Sandiaga Uno saat kalah pada pilpres 2019 lalu, diselesaikan lewat jalur constitutional law, yakni Mahkamah Konstitusi. Padahal kita tahu situasi politik saat itu begitu sangat panas dan dikhawatirkan terjadi tsunami politik, tetapi mereka berdua adalah seorang negarawan yang mengambil pilihan solusi yang beradab dan demokratis,” tuturnya.
Menurutnya, Perppu memang merupakan hak konstitusi Presiden, tapi dengan mendorong dan menyarankan itu ke presiden justru membuat situasi di lapangan bisa menjadi tidak terkendali.
“Kalau semua hal yang krusial diatasi dengan kekuatan ekstra parlemen dengan argumentasi bahwa DPR RI tidak aspiratif, tetapi sekurang-kurangnya mereka dipilih berdasarkan proses demokrasi pemilu yang sudah kita konsensuskan,” tegas Bernard.
Karena itu, Rumah Gerakan 98 menolak upaya memaksa presiden untuk menerbitkan Perppu, mengingat syarat obyektif peruntukan kekosongan hukum tidak ada. “Sehingga kami melihat ada upaya untuk membuat social unrest agar kegentingan yang memaksa sebagai syarat subyektif penerbitan Perppu tercapai,” ungkapnya.
Rumah Gerakan 98 juga akan mengajukan Judicial Review (JR) atas pasal 40 (ayat 1 dan 2) RUU KPK terkait SP3 yang dapat dilakukan KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Persoalan tata negara dan pengelolaannya sebaiknya diselesaikan dengan prosedur hukum, yang akan berdampak positif terhadap kematangan sistem,” pungkasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adil