Run...!!!

Rabu, 15 November 2017 – 12:55 WIB
Ilustrasi rempah-rempah. Foto: Public Domain.

jpnn.com - MENGENANG kejayaan zaman rempah, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia menggelar Seminar Internasional bertajuk “350th Anniversary of The Treaty of Breda (1667 -2017)”.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Netwok

BACA JUGA: Seminar Perjanjian Breda Sukses Tutup Pesta Rakyat Banda

Acara berlangsung di taman belakang Istana Mini (bekas kediaman Jan Pieterszoon Coen), Pulau Banda Neira, Kepulauan Maluku, 11 November 2017.

Seminar ini merupakan puncak dari perhelatan Banda Festival 2017 atau Pesta Rakyat Banda yang berlangsung selama sebulan penuh, sejak 11 Oktober 2017.

BACA JUGA: Paceklik, Kayu Manis Jadi Andalan

The Treaty of Breda, atau Perjanjian Breda adalah kesepakatan tukar guling negeri jajahan 7-antara Inggris dan Belanda.

Melalui Perjanjian Breda, Belanda berhasil mendapatkan Pulau Run di Kepulauan Maluku yang kaya akan rempah.

BACA JUGA: Bukan Cerita Alexis, ini Sejarah Diskotek Pertama di Jakarta

Mau tak mau, Inggris yang semula menduduki pulau tersebut harus angkat kaki. Sebagai gantinya, Inggris mendapatkan Pulau Manhattan yang sebelumnya diduduki Belanda.

Inggris mengganti nama kota itu dari New Amsterdam menjadi New York. Pulau yang “tak dikehendaki” itu kini menjelma pusat perdagangan dunia. New York telah jadi pusat finansial internasional.

Seminar internasional memperingati 350 Tahun Perjanjian Breda menghadirkan tiga pembicara utama. Wim Manuhutu dari Amsterdam University, Bondan Kanumoyoso dari Universitas Indonesia dan Usman Thalib dari Universitas Pattimura

Di antara hadirin peserta seminar nampak juga Hanna Rambe, penulis Mirah Dari Banda--sebuah novel sejarah yang ditulis berdasarkan riset pada 1980-an awal.

“Saya kira karena pembicaranya para ahli sejarah, ada hal-hal baru yang disampaikan. Ternyata tidak. Tidak ada hal baru,” katanya usai seminar.

Hanna Rambe pernah tinggal cukup lama di Banda pada 1980-an. Persisnya di rumah Des Alwi. Waktu itu dia seorang wartawan muda. Kini, rambutnya sudah memutih di makan usia.

Sebagai orang yang pernah meneliti sejarah di wilayah itu, wajar saja bila ia berkata, “tak ada yang baru” setelah menyimak apa-apa yang disampaikan para pembicara.

Tapi, bagi sebagaian peserta yang lain, tentu berlimpah-limpah pengetahuan yang didapat hari itu.

Awal Kolonialisme Belanda di Indonesia

Senin, 15 Maret 1599. Kapal Gelderland lempar sauh di dekat Orantatta, sebuah kota di Pulau Lontor, Banda, Maluku. Esok harinya menyusul Kapal  Zeeland.

Dua kapal yang membawa dua ratus pedagang, serdadu dan pelaut itu dipimpin Laksamana Muda Jacob van Heemskerk.

Ekspedisi mereka dibiayai oleh Compagnie van Verre--pendahulu Vereenigde Costindische Compagnie, atau Maskapai Persatuan Hindia Timur yang kemudian hari menjadi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Misi utama kamar dagang itu mencari rempah-rempah!

Hingga kini di pulau Lontor masih banyak kebun pala. “Rencananya di sini mau dibikin meseum pala,” kata Tanya Des Alwi kepada JPNN, saat kami mengarungi Laut Banda dengan motorboat, Sabtu sore, 11 November 2017.

Lima tahun sebelum kedatangan dua kapal itu…

Seorang tetua adat setempat meramal. Akan datang sekelompok orang kulit putih. Dari negeri jauh. Mereka kuat. Dan memiliki persenjataan yang baik. Mereka datang untuk penaklukan.

Seiring dengan kedatangan ekspedisi yang dipimpin Laksamana Muda Jacob van Heemskerk, Gunung Api yang semula tenang-tenang saja, tiba-tiba aktif.

Penduduk Banda meyakini itu sebuah pertanda. Mereka pun mencurigai rombongan Jacob. Akibatnya, Jacob kesulitan memperoleh rempah-rempah.

Tak kehabisan akal, Jacob melobi para syahbandar dan salah satu kelompok terpandang.

“Jacob menjanjikan hadiah dan membagi keuntungan,” tulis Williard A. Hanna dalam buku Kepulauan Banda--Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala.

Deal…! Setelah beberapa bulan di Banda, pada 1600 Jacob dan rombongannya pulang ke Belanda. Sebuah kabar baik dilaporkan ke kampung halaman. Sampai di sini misi Jacob berhasil.

Apa boleh buat. Kapal dagang Belanda berikutnya belum kembali ke Banda, ketika kapal dagang para saudagar Inggris dengan bendera East India Company (EIC) berlabuh di Pulau Run dan Pulai Ai, pada 1601.

Jarak dua pulau tersebut dengan Banda Neira terbilang dekat. Boleh dibilang satu gugusan kepulauan. Hanya dibatasi oleh Gunung Api.

“Itu Pulau Ai. Dan yang itu Pulau Run,” kata Tante Tanya, anak Des Alwi, saat motorboat kami baru saja meluncur dari Hotel Maulana, samping Pelabuhan Banda Neira.  

Sesampai di Pulau Run, kongsi dagang Inggris berani membeli rempah-rempah dengan harga yang lebih mahal daripada yang pernah ditawarkan pedagang Belanda.

Maka wajar bila penduduk setempat lebih memilih berdagang dengan saudagar East India Company (EIC) Inggris ketimbang Belanda.

Belanda vs Inggris

Belanda merasa ditikung. Demi persaingan dengan Inggris, enam maskapai dagang Belanda bersatu. Fusi pada 20 Maret 1602 melahirkan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC).

Forum para direkturnya bernama Heeren XVII. Isinya orang-orang kaya di Belanda. Mencuplik Douglas Irwin, fusi itu berhasil mengumpulkan modal awal VOC senilai 550 ribu poundsterling.

Artinya, modal awal VOC lima kali lipatnya modal awal EIC yang didirikan 20 tahun sebelumnya, yakni 78 ribu poundsterling.

EIC berdiri di London pada 31 Desember 1600. Dewan direksinya disebut Gentlemen Adventurers yang berjumlah 24 orang. Termasuk Ratu Elizabeth dan keluarga kerajaan Inggris.

Demi rempah-rempah Maluku yang saat itu adalah komoditi pasar dunia yang paling seksi, dua kongsi dagang Eropa itu pun bersiteru.

VOC menyerang empat kapal EIC pada 1617 dan 1618. Meski dibantu penduduk lokal, EIC terpojok. Armada perang VOC lebih tangguh.

 ***

SETELAH menempuh pelayaran selama sembilan bulan dari London, utusan VOC dan EIC berlabuh di Kepulauan Banda, Maluku. Almanak bertarekh 1620.

Para utusan dari Eropa itu membawa kabar bahwa Heeren XVII (pak bos VOC) dan Gentleman Adventurers (pak bos EIC) telah berunding pada 17 Juli 1619.

Kesepakatannya kerjasama membangun kartel dagang.

Pembagiannya, EIC boleh mengambil sepertiga perdagangan rempah di Maluku, Banda, dan Ambon.

"Untuk perdagangan lada di Jawa, EIC berhak atas setengahnya," tulis Femme S Gaastra dalam War, Competition, and Collaboration yang termuat dalam buku The World of the East India Company.

Coen Berang

Pimpinan armada VOC Jan Pieterszoon Coen (kemudian jadi Gubernur Jenderal VOC 1619-1623 & 1627-1629) naik pitam. Apalagi, saat utusan dari Eropa itu datang, Belanda sedang di atas angin.

Coen menyebut Heeren XVII pengecut dan telah menjual diri pada Gentleman Adventurers. Bagi Coen, orang Inggris sebagai musuh lebih mudah ditangani, daripada orang Inggris sebagai sekutu."

Dia berang. Tak peduli pada kesepakatan yang dibawa utusan EIC dan VOC, Coen terus menyerang Inggris. Hingga akhirnya Inggris angkat kaki dari Kepulauan Banda.

Pada 1623 giliran kedudukan EIC di Ambon yang diganyang VOC. Ini membuat kongsi dagang Inggris itu memutuskan pindah ke Banten pada 1628.

Sempat meraup keuntungan besar karena menjalin hubungan baik dengan Kesultanan Banten, EIC akhirnya dipaksa angkat kaki ke Sumatera karena digasak lagi oleh VOC.

VOC pun mendirikan pusat pemerintahan dan dagang di Batavia. Sejak itu, dimulailah sejarah kolonialisme Barat di negeri yang hari ini bernama Indonesia.

Tukar Guling

Kota Breda, Belanda, 31 Juli 1667. Inggris, Belanda, Perancis, Denmark-Norwegia berunding untuk mengakhiri Perang Anglo-Dutch kedua (1665-1667).

Dalam perundingan itulah Belanda memberikan Pulau Manhattan yang dinilai tak terlalu berarti kepada Inggris sebagai ganti direbutnya Pulau Run.  

Kini, New York menjadi kota "paling bersinar" di dunia. Sementara Pulau Run di Timur Indonesia…Ah, tak enak hati untuk disebutkan.

 ***

VOC dan EIC--dua perusahaan multinasional pertama di dunia--bersaing memperebutkan rempah-rempah, komoditi dagang paling eksotis pada masa itu. 

Begitu berhasil memenangkan dan mengkoloni negeri yang hari ini bernama Indonesia, Belanda menjelma jadi kekuatan dagang paling kuat di dunia.

Hanya saja, memasuki 1750-an, kongsi dagang nomor wahid itu pun mulai goyang, kemudian bangkrut dan akhirnya bubar pada 1799. Apa pasal?

VOC rontok sejak mereka memberikan gaji terlalu rendah untuk tugas yang bertumpuk-tumpuk kepada pegawainya.

Akibatnya, pegawai VOC sibuk sendiri mengadali majikannya. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Siapa Nakhoda Kapal Tampomas II yang Dinyanyikan Iwan Fals?


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler