jpnn.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta Rabu (24/2) sore ditutup menguat tipis.
Rupiah ditutup menguat tipis delapan poin di level Rp 14.085 per USD dari penutupan sebelumnya di level Rp 14.092 per USD.
BACA JUGA: Alhamdulillah, Rupiah Menguat Lagi Didukung Beberapa Faktor Ini
Direktur PT. TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, beberapa faktor jadi pemicu penguatan yang tipis pada hari ini. Petama, dari dalam negeri, ujar Ibrahim, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia tidak diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan.
"Alhasil apa yang dilakukan oleh Bank Indonesia dalam menurunkan suku bunga tidak berjalan sesuai dengan regulasi yang diinginkan oleh Gubernur BI," tutur Ibrahim saat dikonfirmasi JPNN.com, di Jakarta, Rabu.
BACA JUGA: Rupiah Bergerak Menguat Tipis Selasa Pagi, Bisa Lebih?
Menurut Ibrahim, Bank Indonesia kecewa dan berharap perbankan segera menurunkan suku bunga kredit. Hal ini berlaku bagi bank pelat merah dan swasta.
"Apabila tidak menurunkan suku bunga kredit, maka masyarakat atau pengusaha akan terbebani dengan bunga yang tinggi. Sehingga masyarakat dan pengusaha enggan untuk meminjam dana di perbankan," kata dia.
BACA JUGA: Rupiah Ditutup Melemah Sore Ini, Duh! Rp14 Ribuan Lagi
Konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat, kata Ibrahim akan berjalan apabila perbankan menurunkan suku bunga kredit.
"Karena variabel paling sensitif atau elastisitasnya paling tinggi terhadap pertumbuhan kredit adalah konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat," jelas dia.
Oleh karena itu, perbankan diminta berkomitmen untuk terus menjadi mitra bisnis strategis pemerintah dalam penyaluran berbagai stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga dan daya beli masyarakat.
"Sinyal positif data eksternal kurang didukung dengan data Internal mengakibatkan penguatan mata uang garuda tertahan," ucap Ibrahim.
Ibrahim melanjutkan, faktor eksternal yang mempengaruhi rupiah datang dari Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell. Dia menyebutkan, Powell kembali menegaskan soal komitmen bank sentral pada suku bunga rendah dan pembelian obligasi untuk mendukung pemulihan ekonomi AS.
"Namun, dukungan Fed bisa menjadi faktor negatif jangka panjang bagi greenback," jelas Ibrahim.
Mengutip dari ahli strategi valuta asing IG Securities Junichi Ishikawa, Ibrahim menjelaskan, tanda-tanda pemulihan ekonomi mengangkat harga komoditas, yang pada gilirannya mendukung mata uang eksportir komoditas.
"Selera risiko telah meningkat pesat, dan ini membuat USD berada pada posisi yang sangat merugikan," kata Ibrahim.
Sementara itu, Ibrahim, mengetakan, Powell juga menepis kekhawatiran bahwa kebijakan moneter yang longgar dapat menyebabkan inflasi dan gelembung keuangan yang telah mendominasi 2021 sejauh skeptisisme tumbuh atas reli saham global.
"Secara bersamaan, investor beralih ke mata uang yang akan memperoleh keuntungan dari perdagangan global yang meningkat, dan negara-negara yang membuat kemajuan dalam pemulihan Covid-19, juga berkontribusi pada penurunan dolar," ujar dia.
Ibrahim juga menyebutkan, para bankir sentral yang ekonominya melihat lebih sedikit gangguan dari Covid-19 menghadapi dilema yang berlawanan.
"Apakah akan memperketat kebijakan moneter mereka. Jika mereka mulai melakukannya, dolar akan kehilangan lebih banyak daya tariknya, beberapa investor memperingatkan," jelas dia.
Sedangkan faktor eksternal lain yang mempengaruhi rupiah datang dari seberang Samudra Pasifik. Setelah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson memperkenalkan rencana untuk melonggarkan pembatasan penguncian saat ini secara bertahap karena negara itu melanjutkan peluncuran vaksin Covid-19 yang cepat.
"Maka perdagangan besok, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuasi namun ditutup menguat di rentang Rp 14.050-Rp 14.100 per USD," pungkas Ibrahim. (mcr10/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Elvi Robia