Rupiah Masih Lesu Darah

Selasa, 15 Januari 2013 – 06:45 WIB
JAKARTA - Alarm untuk mengurangi konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) berdering makin keras. Otoritas moneter Bank Indonesia (BI) makin tegas mengingatkan bahwa tingginya konsumsi BBM dapat memacu beban subsidi APBN dan makin memberikan tekanan yang besar pada nilai tukar rupiah.

BI mencatat per 14 Januari 2013, rupiah melemah 10 poin menjadi Rp 9.670 per USD 1. Dalam sepekan terakhir, rupiah sempat berada di titik terendahnya mencapai Rp 9.740 per USD 1 pada periode 8-9 Januari 2013.

"Kita melihat ini (nilai tukar rupiah) sudah mulai di luar proporsinya. Kami hitung, nilainya sekarang sudah keluar dari fundamentalnya," tegas Gubernur BI Darmin Nasution setelah rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI kemarin (14/1).

Darmin memaparkan, konsumsi BBM yang terus meningkat di tengah semakin menurunnya produksi minyak, bakal terus mendorong peningkatan impor minyak. Padahal, diketahui bahwa makin rajinnya Indonesia membeli minyak dari pasar internasional, artinya permintaan terhadap mata uang USD kian tinggi.

Fakta sebaliknya, suplai USD saat ini tidak sebesar demand atau permintaan terhadap USD. Minimnya persediaan USD tersebut lantaran ekspor Indonesia yang diharapkan menyumbang devisa dalam bentuk USD, justru mengalami penurunan.

Jika kondisi ini terjadi terus menerus tanpa ada kontrol yang ketat, maka defisit transaksi berjalan tak dipungkiri bakal semakin lebar. Akibatnya, terang Darmin, kondisi tersebut akan mempengaruhi persepsi negatif mengenai kesinambungan fiskal. "Akhirnya keadaan tersebut memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah," jelasnya.

Sebenarnya, Darmin menerangkan, situasi krisis valas ini dapat diselesaikan dengan besarnya pasokan DHE (Devisa Hasil Ekspor) yang dititipkan di perbankan tanah air.

Saat ini, ia menyebutkan perbankan di Indonesia sudah menampung setidaknya 85 persen dari total DHE. Sayangnya, angka tersebut lebih banyak disumbang oleh hasil ekspor non migas. Sebaliknya, yang digadang-gadang mampu berkontribusi besar dalam penitipan DHE yakni korporasi migas, justru belum berperan maksimal.

Alasannya, ungkap Darmin, prosedur penitipan DHE di bank-bank di Indonesia menyalahi salah satu pasal yang ada di kontrak migas. "Namun pasal mana yang bertentangan, mereka (kontraktor) migas tidak mau menjawab. Padahal, kalau ada sumbangan DHE dari migas, kucuran valas akan makin keras," terangnya.

Kendati demikian, bukan berarti BI melakukan pembiaran atas kondisi rupiah yang terdepresiasi tersebut. Darmin mengatakan pihaknya siap untuk mengintervensi gejolak nilai tukar rupiah dengan berbagai cara. "Kami akan perkuat dan mengendalikannya gar rupiah kembali ke fundamentalnya," jelasnya.

Di tempat yang sama, Menteri Keuangan Agus Marto Wardojo mengimbau masyarakat sekaligus pemerintah terkait untuk benar-benar melakukan pengetatan terhadap kuota BBM subsidi tahun ini yang dipatok sebesar 46,2 juta kilo liter (KL). Jika tak dikendalikan, Agus pun meyakini bahwa tahun ini kuota BBM akan jebol lagi. "Tahun lalu saja sudah mencapai angka 45,2 KL, dari kuota awal yang hanya 40 juta KL," ungkapnya.

Jika konsumsi BBM bersubsidi melampaui kuotanya, maka Agus pun memastikan akan menaikkan harga BBM. Beberapa faktor yang paling penting dihitung untuk mendukung kenaikan harga BBM ini di antaranya harga Indonesian Crude Product (ICP) yang diperkirakan bergerak di angka USD 100-USD 109 per barel. "Padahal sekarang sudah USD 106 per barel," ungkapnya.      

Selain itu, melesetnya lifting minyak yang ditargetkan sebesar 900 ribu per barel juga jadi pengaruh  besar naiknya harga BBM. "Kalau saat dihitung ulang tetap tidak bisa (sesuai), maka kita sesuaikan harga BBM," jelasnya.

Namun demikian, mantan Dirut Bank Mandiri ini mengaku tak mau tergesa-gesa menjawab pertanyaan yang dilontarkan DPR, apakah tahun ini harga BBM akan benar-benar naik. "Hingga saat ini belum ada rencana penyesuaian harga BBM," paparnya. (gal/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dinilai Cacat, Program Raskin Diminta Dikaji Ulang

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler