Rupiah Melemah, Industri Resah

Kamis, 31 Mei 2012 – 06:36 WIB

SURABAYA - Terus melemahnya kurs rupiah terhadap US dolar mulai membuat industri waswas. Jika pelemahan kurs tersebut berlangsung lama, itu akan menambah beban perusahaan, khususnya yang membutuhkan bahan baku dari impor serta memiliki utang dalam mata uang asing.
 
Salah satu perusahaan yang mulai menyiapkan antisipasi adalah PT Suparma Tbk. Produsen kertas itu harus mengimpor sekitar 35 persen bahan baku, selain masih adanya tanggungan utang valas USD 34 juta.
 
Direktur PT Suparma Tbk Hendro Luhur menyatakan, dengan posisi nilai tukar rupiah terhadap US dolar yang menyentuh level Rp 9.600 per US dolar kemarin, perusahaannya sulit memproyeksikan laba tahun ini. "Kurs dolar AS yang masih bergerak liar dan cenderung naik ini membuat harga bahan baku ikut naik, sementara harga jual produk yang hampir 90 persen dijual di pasar lokal sulit disesuaikan karena mengacu ke harga kertas dunia," ungkap Hendero setelah rapat umum pemegang saham tahunan (RUPST) di Surabaya, Rabu (30/5).
 
Mengurangi beban dengan mengalihkan pembelian bahan baku ke pasar lokal juga sulit. Sebab, produk Suparma memerlukan bahan baku dengan serat panjang yang tidak tersedia di pasar lokal.

"Untuk itu, kami berharap pemerintah segera melakukan sesuatu. Kami yakin pemerintah mampu karena ada cadangan devisa di atas USD 100 miliar. Dengan begitu, pelaku industri bisa segera melakukan kalkulasi margin," ujar Hendro.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia"Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Hariyadi Sukamdani mengatakan, sentimen pasar yang memicu pelemahan rupiah terhadap dolar tersebut justru bisa dianggap sebagai momentum untuk meningkatkan konsumsi bahan baku dari pasar domestik."
 
Menurut Hariyadi, saat ini industri di dalam negeri yang diproyeksi terimbas penguatan US dolar, antara lain, farmasi yang importasi bahan bakunya bisa mencapai 90 persen serta industri baja. "Sektor makanan, seperti daging sapi impor, dan komunitas barang dari jagung dan pakan ternak juga diprediksi terdampak. Tren ini kami prediksi berlangsung 2"3 bulan," tuturnya."

Di lain pihak, Ketua Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Ahmad Wijaya mengatakan, industri keramik tidak begitu terdampak penguatan dolar. "Sebab, bahan baku kami yang asalnya impor lebih banyak didatangkan dari negara di Eropa. Misalnya, Italia dan Spanyol. Saat ini, posisi euro memang lebih menguntungkan," tuturnya.

Dia menyebutkan, rerata bahan baku keramik yang diimpor dari Eropa mencapai 30 persen di antara total bahan baku untuk produksi keramik. Di antaranya, bahan-bahan glazur (pengilap keramik), stain (pewarna), dan zircon (pemutih). "Impor bahan baku kami setahun mencapai USD 300 juta," paparnya. (gal/c6/kim)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Minta OJK Batasi Gerak Bank Asing


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler