Direktur Direktorat Hubungan Masyarakat BI Difi A. Johansyah mengatakan pemerintah dan BI telah membentuk sebuah tim di bawah Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) dengan diketuai Menteri Keuangan. "Kami sudah ke DPR dan diminta sosialisasi," ungkap Difi di gedung BI, Jumat (7/12). Pihaknya melakukan sosialisasi yang bersifat umum lantaran masih menunggu pengesahan RUU Redenominasi.
Jika legislator bisa merampungkan RUU Redenominasi dengan cepat, Indonesia segera masuk masa transisi. Pada fase tersebut, masyarakat bakal memakai dua mata uang. Yakni mata uang lama (dengan pecahan maksimal Rp 100.000) dan mata uang baru hasil redenominasi (pecahan maksimal Rp 100).
Selama masa transisi, semua yang terlibat dalam transaksi jual beli diwajibkan membanderol produknya dengan dua nominal mata uang. Dia mencontohkan, jika harga suatu produk Rp 20 ribu maka pembayarannya menggunakan pecahan yang sama. "Kalau produk itu harganya Rp 20, bayarnya pakai uang Rp 20," jelasnya.
Berdasar hasil riset, kurs rupiah yang mencapai Rp 9.000-Rp 10.000 per USD 1 merupakan yang paling besar. "Hampir sama dengan Vietnam," tambah Difi.
Konsekuensi dari redenominasi itu, nilai rupiah yang berupa sen bakal muncul lagi. Awalnya, pada masa krisis 1950an, USD 1 setara Rp 48. Angka tersebut naik menjadi Rp 200 hingga Rp 1.000. Lantaran krisis berkepanjangan yang memicu tingginya inflasi, terus menerus terjadi pengaturan terhadap pecahan mata uang. "Hingga sen hilang dan diganti pecahan Rp 100 dan Rp 200," tandasnya. (gal/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Selamatkan Industri Telekomunikasi, SBY Diminta Turun Tangan
Redaktur : Tim Redaksi