Rupiah Sempat Tembus Level Rp 10.000 Per USD

Selasa, 11 Juni 2013 – 07:20 WIB
JAKARTA - Rupiah yang akhir pekan lalu bersusah payah merangkak naik, awal pekan ini kembali terempas sentimen global. Meski demikian, pemerintah terus menunjukkan sikap tenang untuk mendinginkan pasar.

Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan, pemerintah terus memantau gejolak rupiah yang kemarin terperosok hingga mendekati level psikologis 10.000 per dolar AS (USD). "Ini fenomena yang biasa terjadi di financial market (pasar keuangan)," ujarnya kemarin (10/6).

Pada perdagangan di pasar uang kemarin, nilai tukar rupiah memang sangat fluktuatif. Data pantauan Reuters menunjukkan, rupiah sempat melemah hingga level 9.966 per USD pada pukul 10.00 WIB. Namun, pada pukul 16.00 WIB, rupiah kembali stabil di posisi 9.810 per USD.

Di pasar berjangka, rupiah bergerak lebih liar. Data kantor berita Bloomberg menunjukkan, nilai tukar rupiah pada kontrak non-deliverable forward (NDF) untuk masa pengantaran 1 bulan ke depan sempat menembus level 10.355 per USD. Ini merupakan level terendah sejak Agustus 2009. Adapun untuk nilai tukar harian, rupiah ditutup di level 10.090 per USD.

Sementara itu, data kurs BI berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) kemarin ditutup di level 9,806 per USD, melemah 16 poin dibanding penutupan akhir pekan lalu yang 9.790 per USD. BI mengklaim, data nilai tukar Jisdor merupakan acuan yang menggambarkan kondisi paling riil karena dicatat berdasar realisasi transaksi valuta asing antarbank di Indonesia.

Data kompilasi dari Bloomberg menyebut, pelemahan rupiah terjadi karena banyaknya investor asing yang menarik dananya dari Indonesia. Sepanjang Juni ini saja, dana asing yang kabur dari pasar modal (Bursa Efek Indonesia/BEI) dan obligasi (Surat Berharga Negara/SBN) diestimasi mencapai USD 812 juta atau sekitar Rp 7,9 triliun.

Menurut Chatib, capital outflow atau aliran dana keluar bisa terjadi karena situasi perekonomian global yang masih penuh uncertainty atau ketidakpastian. Kondisi itulah yang memengaruhi persepsi investor untuk menempatkan asetnya pada instrumen yang dinilai cukup aman, yakni dolar AS.

"Karena itu, fenomena (pelemahan nilai tukar) ini tidak hanya terjadi di sini (Indonesia, Red), tapi juga di beberapa region," katanya.

Chatib membantah bahwa pelemahan nilai tukar rupiah dipicu oleh belum adanya kepastian kapan rencana kenaikan harga BBM direalisasikan. Menurut dia, isu mengenai kenaikan harga BBM sudah cukup lama menjadi pembicaraan dan sudah diantisipasi oleh pasar. "Sekali lagi, ini lebih di-drive (dipacu, Red) karena situasi eksternal," ucapnya.

Meski demikian, Chatib mengakui bahwa realisasi kenaikan harga BBM berpotensi mengerem laju konsumsi sekaligus impor BBM. Pengurangan impor ini akan menurunkan kebutuhan USD, sehingga bisa mengendurkan tekanan terhadap rupiah. "Memang, selama ini defisit neraca perdagangan menjadi pressure bagi rupiah," ujarnya.

Sebelumnya, Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, kekhawatiran investor terhadap defisit kembar (neraca pembayaran dan neraca perdagangan) menjadi salah satu faktor penekan rupiah.

Akibatnya, kuotasi harga penawaran beli dan jual sudah tidak rasional dan tidak sejalan dengan fundamental. "Karena itu, BI akan terus melakukan intervensi untuk stabilisasi," katanya.

Sementara itu, analis senior Monex Investindo Futures Zulfirman Basir mengatakan, saat ini posisi dolar AS memang cenderung menguat daripada mata uang lain. Hal ini terlihat dari indeks dolar AS yang melonjak naik ke 81,86 dari sebelumnya 81,69.

Alhasil, rupiah pun tak berdaya di tengah dolar AS yang menguat terhadap mayoritas mata uang utama, termasuk terhadap euro. "Terhadap euro, dolar AS masih ditransaksikan menguat ke USD 1,3215 per ruro dari sebelumnya USD 1,3218 per euro," paparnya.

Kendati demikian, rupiah yang terjerembap sebenarnya tak jauh dari sentimen negatif yang melingkupi pasar valuta asing. Investor khawatir dengan berlanjutnya perlambatan ekonomi Indonesia.

Kekhawatiran ini dinilai makin kuat setelah DPR menyetujui anggaran kompensasi penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang diusulkan pemerintah Jumat akhir pekan lalu.

Tak pelak, kurs rupiah terhadap dolar AS di pasar spot valas antarbank Jakarta kemarin terpukul 10 poin (0,102 persen) ke posisi 9.810/9.815, dari posisi akhir pekan lalu 9.800/9.810. "Sepanjang perdagangan rupiah mencapai level terlemahnya 9.815, dari posisi terkuatnya 9.800, dan posisi pembukaan 9.805 per dolar AS," ungkapnya.

Head of Research Trust Securities Reza Priyambada menambahkan, pelaku pasar saat ini masih dalam posisi menghindari rupiah lantaran belum jelasnya pemberlakuan kenaikan harga BBM.

Walaupun diproyeksi, dampak negatif kenaikan BBM terhadap perekonomian hanya terjadi dalam jangka pendek. "Selain dipengaruhi sentimen di dalam negeri, kurs rupiah terimbas sentimen global, seperti penurunan kurs won dan AUD karena imbas kenaikan tajam yield Treasury AS. Laju rupiah pun cenderung negatif," jelasnya. (owi/gal/c2/kim)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan Resmikan Kapal Termewah Milik ASDP

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler