RUU Cipta Kerja Bukan Ancaman untuk Buruh

Kamis, 11 Juni 2020 – 20:51 WIB
Seorang buruh membawa poster penolakan terhadap Omnibus Law. Foto: M Fathra/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat ketenagakerjaan dari Indonesian Consultant at Law (IClaw) Hemasari Dharmabumi menyatakan, kaum buruh seharusnya bisa objektif dan realistis dalam melihat hadirnya Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja).

Menurut Hemasari, RUU tersebut bisa membuat buruh memiliki posisi tawar lebih terhadap pemerintah.

BACA JUGA: DPD RI Lanjutkan Pembahasan DIM RUU Omnibus Law Cipta Kerja

"Jadi penciptaan lapangan pekerjaan oleh pemerintah ini jangan dilihat oleh buruh atau serikat buruh sebagai ancaman. Justru ini adalah era di mana mereka bisa bargaining kepada pemerintah," ujar Hemasari, Kamis (11/6).

Hemasari menyadari, RUU Cipta Kerja memiliki keberpihakan terhadap pengusaha. Sebab, aturan itu pada intinya yakni menciptakan lapangan kerja di banyak sektor.

BACA JUGA: Tidak ada yang Salah dari Omnibus Law

Namun, dia menekankan, keberpihakan itu bukan berarti secara otomatis merugikan buruh. Misalnya, soal upah minimum yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja.

Dia menyampaikan, upah minimum Kabupaten/Kota dalam RUU Cipta Kerja dihilangkan. Nantinya, upah minimum dikategorikan sebagai upah minimum provinsi, UKM, hingga padat karya.

BACA JUGA: PKS: Masalah di Omnibus Law Bukan Cuma Klaster Ketenagakerjaan Saja

"Sekarang yang terjadi upah maksimum, kan, dengan ditetapkannya upah sekian, misalnya di Karawang sebesar Rp4,7 juta, ya, upahnya segitu saja. Upah minimum dijadikan upah maksimum ini yang tidak benar," ujarnya.

Hemasari menyampaikan, kebijakan upah maksimum telah membuat negosiasi upah yang seharusnya terjadi antara pekerja dengan pengusaha tidak berjalan.

Pasalnya, dia mengatakan, buruh tidak bisa mengajukan tuntutan kenaikan upah karena dibatasi.

"Jadi serikat buruh harus realistis. Kalau misalnya negara tidak mengundang investasi, tidak membuka lapangan pekerja seluas mungkin, akan membuat pengangguran tinggi. Nah, pengangguran yang tinggi sebetulnya berdasarkan prinsip ekonomi, itu kesejahteraan buruh jauh dari tercapai," ujarnya.

Di sisi lain, tingginya angka pengangguran berkorelasi langsung terhadap tidak sejahteranya buruh. Misalnya, pengusaha akan mencari pekerja lain ketika ada buruh yang mengajukan kenaikan gaji.

"Kalau pengangguran banyak, lalu buruhnya mau naik gaji kata pengusahanya ya, sudah saya pecat saja kamu. Banyak, kok, yang masih mau kerja di sini," tutur Hemasari.

Hemasari menambahkan RUU Cipta Kerja nantinya akan memberi kesempatan serikat pekerja berunding dengan perusahaan dalam menciptakan keadilan.

"Sekarang perusahaan besar atau kecil semua disamaratakan gajinya, justru ini yang menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Jadi serikat kalau berpikir rasional justru seharusnya mendukung sebuah UU yang memungkinkan tingkat pengangguran berkurang atau tergerus," pungkas dia.(mg10/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler