RUU EBT Dikhawatirkan Lebih Berpihak Kepada Importir

Jumat, 16 Juli 2021 – 11:42 WIB
Aneka dan rancangan aturan soal energi baru dikhawatirkan malah meningkatkan harga listrik. Ilustrasi Foto: dok. PLN

jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) dikhawatirkan lebih berpihak kepada importir yang mengincar peluang hingga Rp 7.000 triliun atau setara APBN Indonesia 3,5 tahun.

Aneka dan rancangan aturan soal energi baru juga dikhawatirkan malah meningkatkan harga listrik.

BACA JUGA: Mulai Malam Ini Tol Layang MBZ Ditutup, Kenapa?

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan peralihan sumber energi primer dari fosil ke sumber ramah lingkungan memang harus dilakukan. Akan tetapi, peralihan itu harus mempertimbangkan kondisi nasional.

“Saat ini, industri dalam negeri belum mampu memproduksi panel surya untuk PLTS, komponen PLTB (pembangkit listrik tenaga bayu), dan pembangkit EBT lain,” ujar Mamit di Jakarta, Kamis (15/7).

BACA JUGA: MPR RI Dorong Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan, Nih Tujuannya

Seharusnya, dalam RUU EBT yang tengah dibahas di DPR ada upaya dan insentif untuk mendorong kemandirian nasional dalam produksi pembangkit EBT.

“Pemerintah harus mendorong penelitian dan juga riset sendiri sehingga bisa menghasilkan solar panel dengan harga yang lebih kompetitif. Kebutuhan solar panel ke depannya akan terus meningkat, jangan hanya terkesan memanjakan importir panel surya saja. Bagaimana kita harus bisa menciptakan kemandiri sektor energi. DPR harus memasukan komponen dalam negeri yang cukup besar terkait dengan PLTS maupun PLTB ini,” ujarnya.

Dia mengingatkan, potensi pasar pembangkit EBT bisa mencapai Rp 7.000 triliun hingga 2050. Pasar sebesar itu hanya akan dinikmati asing dan agennya di dalam negeri jika Indonesia tidak bisa mandiri dalam produksi pembangkit EBT.

Hal itu menunjukkan, aneka aturan dan rancangan aturan soal EBT lebih menekan pada aspek komersial. Padahal, transisi energi menuju EBT seharusnya menekankan pada pelestarian lingkungan.

“Ini sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.

Mamit juga khawatir aneka aturan dan rancangan aturan soal EBT, khususnya terkait PLTS, berpeluang memicu biaya pokok produksi listrik.

Dengan aturan sekarang, untuk setiap 1 GW PLTS IPP yang dimasukkan ke sistem, subsidi bisa bertambah sampai Rp 1,5 triliun.

"Hal ini disebabkan dengan kewajiban PLN membeli energi listrik dari PV Rooftop maka akan menaikan biaya pokok produksi sebesar Rp6/kWh s.d Rp8/kwh dan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kapasitas PV Rooftop ini,” ujarnya.

Kenaikan BPP otomatis akan meningkatkan subsidi dan kompensasi. Jika tarif untuk pelanggan subsidi, maka pemerintah akan mensubsidi tarif listrik tersebut.

Untuk pelanggan yang non-subsidi tetapi tidak ada tarif adjustment, maka pemerintah harus memberikan dana kompensasi kepada PLN. Jika dinaikan maka akan memberatkan bagi masyarakat.

Padahal, kondisi saat ini, pelanggan yang disubsidi hanya 25 persen dan yang non subsidi sebanyak 75 persen dari total pelanggan PLN.

“Hal ini akan sangat memberatkan bagi PLN maupun pemerintah. Selain itu, hal ini juga akan menyebabkan penurunan pendapatan bagi PLN dalam jumlah yang cukup signifikan,” kata dia.

RUU EBT yang mengharuskan PLN membeli seluruh listrik EBT dari penyedia daya swasta atau IPP juga bisa memberatkan. Sekarang, PLN tengah mengalami kelebihan pasokan daya karena banyak pembangkit IPP masuk dan konsumsi listrik turun di tengah pandemi.

“RUU EBT tidak tepat dan cenderung memberatkan PLN karena kondisi saat ini listrik sudah berlimpah seperti saat ini. Apalagi, listrik yang dihasilkan oleh EBT ini harganya masih cukup tinggi jika dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan oleh batu bara. Ini akan menjadi permasalahan tersendiri baik bagi Pemerintah maupun bagi masyarakat,” ujarnya.

Bagi pemerintah, jika memang tidak ada kenaikan tarif maka harus menanggung biaya kompensasi yang harus di bayarkan kepada PLN. Di sisi lain, jika dinaikan maka akan menjadi beban bagi masyarakat terutama 75 persen bagi pengguna golongan non-subsidi.

"PLN akan berhitung secara keseluruhan untuk setiap BPP mereka. Jadi saya kira, mumpung masih dalam tahap pembahasan para anggota DPR dan juga Kementerian ESDM harus memikirkan dampak yang dihasilkan jika ketentuan ini jadi diterapkan. Akan sangat memberatkan banyak pihak," ucapnya.

Dirinya menambahkan hal ini memberatkan PLN ke depannya ditengah kondisi oversupply karena proyek 35GW serta konsumsi listrik yang rendah dan tidak sesuai dengan apa yang direncanakan oleh pemerintah saat program 35GW ini di canangkan.

"Tingkat pertumbuhan ekonomi yang juga masih jauh daripada target yang diharapkan serta pertumbuhan konsumsi listrik yang masih cukup rendah menjadi beban yang luar biasa bagi keuangan PLN. Oversupply saat ini saja sudah mencapai angka 23 persen dengan cadangan listrik saat ini sudah di atas 35 persen di mana idealnya adalah 30 persen. Oleh karena, apa yang ada dalam draft RUU tersebut menjadi tidak tepat dan cenderung memberatkan PLN karena kondisi saat ini listrik sudah berlimpah seperti saat ini," kata dia.

Dia juga berharap ada dukungan untuk program Co-Firing PLTU. Inisiatif itu mengombinasikan kebutuhan penggunaan energi ramah lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Bahan bakar co-firing berasal dari kayu yang disediakan masyarakat dan BUMN.

“Co-firing juga merupakan upaya kita untuk mengurangi penggunaan batu bara sebagai energi primer. Melalui perkebunan kayu ganal dan kaliandra yang melibatkan banyak masyarakat akan sangat membantu perekonomian mereka. Program perkebunan ini saya harap di dukung oleh Perhutani ataupun PTPN yang mempunyai lahan kosong untuk dioptimalisasikan. Semakin banyak perkebunan yang dibuka, maka akan semakin banyak tenaga kerja yang di serap dan bisa membantu perekonomian mereka. Ini jauh lebih baik dan kerakyatan jika dibandingkan program bauran energi yang lain,” tuturnya. (dkk/jpnn)


Redaktur & Reporter : Muhammad Amjad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler