jpnn.com, JAKARTA - Rancangan Undang Undang (RUU) Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) yang diinisiasi oleh DPR tanpa melibatkan pemangku kepentingan terkait dipandang melampaui norma dan mengganggu proses demokratisasi di Indonesia.
Hal ini disampaikan dalam diskusi publik yang digelar di Universitas Atma Jaya Jakarta dengan tema “Menyoal RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, Potensi Ancamannya Bagi Kebebasan Sipil” dan dipandu Direktur Eksekutif IDeka Indonesia, Anton Aliabbas pada Kamis (5/9).
BACA JUGA: Ahli Forensik Siber Dukung RUU KKS Segera Ketuk Palu
Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, salah satu nara sumber dalam diskusi tersebut menegaskan bahwa tujuan inti dari sistem kemanan siber adalah perlindungan individu dengan mengedepankan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam penerapannya.
BACA JUGA : RUU Keamanan dan Ketahanan Siber Belum Layak Disahkan
BACA JUGA: Kabid Keamanan Siber APJII Dorong RUU KKS Segera Disahkan
Yang menjadi persoalan menurut Wahyudi, tidak ada satu pun aturan dalam RUU tersebut yang menyinggung letak keamanan individu termasuk perlindungan data pribadi, perangkat, dan jaringan serta mekanisme pengawasannya.
“Bayangkan sebuah produk undang-undang yang masih sangat prematur kemudian dipaksakan untuk disahkan dan diterapkan, maka yang terjadi kemudian adalah abuse of power,” tukas Wahyudi.
BACA JUGA: Tahapan Pembahasan RUU Kamtan Siber Mendapat Sorotan
“Publik akan bertanya-tanya ketika kewenangan yang tidak jelas dan rancu ini diterapkan. Siapa yang amankan kepentingan kami, individu, jaringan perangkat," imbuhnya.
Di sisi lain, luasnya ruang lingkup ancaman terhadap konten destruktif yang didefinisikan secara subyektif dalam RUU tersebut, menurut Wahyudi, akan menghambat kreativitas, inovasi dan invensi teknologi siber, begitu pula komunitas ekonomi kreatif yang tumbuh begitu pesat di Indonesia dengan mengandalkan internet.
BACA JUGA : Tunda Saja, RUU Kamtansiber Berpotensi Tumpang Tindih dan Membingungkan
Polemik RUU KKS kata Wahyudi tidak akan terjadi andai saja DPR secara transparan mengundang pemangku kepentingan, dalam hal ini akademisi, pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta yang merupakan elemen dari ekosistem internet nasional, berembug bersama sebagaimana cara bangsa ini berdemokrasi dalam merumuskan dan menelurkan sebuah kebijakan bagi kemanfaatan masyarakat luas.
“DPR saya nilai gegabah dan apa yang mereka lakukan ini jelas mengganggu proses demokratisasi yang sedang kita bangun,” ujar Wahyudi.
Hal senada disampaikan Ardi Sutedja, pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) yang memandang produk legislasi dadakan DPR ini akan memakan ongkos yang sangat mahal yakni rakyat yang menjadi korban.
Ardi memberi gambaran bahwa 143 juta indonesia adalah pengguna internet. Artinya setengah dari penduduk Indonesia berpotensi menjadi korban dari penerapan sebuah produk undang-undang yang dibuat secara gegabah oleh wakil rakyat di DPR.
“Ini melampaui norma. Jika menyangkut hajat hidup orang banyak harus transparan. Jangan diam-diam membuat sebuah produk uu,” tambah Ardi.
“UU ini bisa merubah tatanan hidup yang sudah terbangun baik menjadi hancur. Masak untuk hal yang begitu krusial mereka tidak melibatkan pemangku kepentingan,” imbuhnya.
Ardi mengatakan pemaksaan kehendak terhadap sebuah produk undang-undang jelas sebuah gambaran dari upaya membatasi sebuah proses berdemokrasi. Dan hal tersebut menurutnya secara tidak langsung tercantum dalam diktum-diktum RUU KKS yang digagas DPR. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Respons Pakar TI Mendengar Jokowi Sebut Data Lebih Berharga dari Minyak
Redaktur & Reporter : Natalia