jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan, banyak multifinance dicabut usahanya karena faktor permodalan.
Terlebih, pada Desember 2019 ada peraturan yang menyebutkan bahwa perusahaan multifinance harus memiliki modal minimum Rp 100 miliar.
BACA JUGA: eSIM Traveling, Solusi Praktis Terhubung ke Internet Saat Berpergian di Luar Negeri
Setelah bersih-bersih di industri multifinance, diharapkan perusahaan pembiayaan yang tersisa dapat menghadapi tantangan baru pascapandemi Covid-19, yaitu ancaman inflasi global hingga daya beli yang menurun.
“Selama lima tahun sebanyak 51 multifinance dicabut izin usahanya. Tapi rata-rata perusahaan pembiayaan yang dulu modalnya di bawah Rp 100 miliar belum bisa meng-upgrade dirinya, bahkan harus dicabut izinnya berserta ada pelanggaran-pelanggaran rambu-rambu yang mana perusahan pembiayaan sudah semakin teregulasi,” ujar Suwandi dalam diskusi bertema “Tantangan dan Masa Depan Perusahaan Pembiayaan di Tengah Ancaman Resesi Global” Kamis, (15/9).
BACA JUGA: Hadirkan Beragam Layanan, Jamkrindo Permudah Aksesibilitas Finansial UMKM
Pelaku industri multifinance saat ini tengah menyoroti sejumlah hal dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
Paling tidak ada dua hal utama yang disorot, yakni soal keharusan pinjam meminjam dalam mata uang rupiah, dan larangan Warga Negara Asing (WNA) menjadi pengurus multifinance.
BACA JUGA: Srikandi Ganjar Jawa Timur Rayakan September Berbudaya
Menurut Suwandi, salah satu yang menjadi sorotan pelaku industri adalah pasal yang berbunyi "Kegiatan menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet kepada masyarakat".
Sejumlah industri multifinance sebenarnya sudah lumrah mendapatkan pinjaman dari luar negeri dalam bentuk mata uang asing. Namun dalam penyaluran pinjamannya di dalam negeri tentu dalam rupiah.
Apalagi selama ini banyak investor asing yang tertarik berinvestasi ke bisnis multifinance di dalam negeri. Jika klausul dalam draft RUU P2SK tersebut lolos, dkhawatirkan malah menjadi langkah mundur bagi industri multifinance.
Pelaku industri malah makin sulit mendapatkan pendanaan, apalagi di tengah ketatnya pinjaman dari perbankan dalam negeri.
"Sebenarnya yang diharapkan adalah bagaimana investor asing ini masuk, tapi bukan masuk dalam kompetisi itu malah menambah beban bagi masyarakat. Kalau bisa mendapatkan dana murah dari luar, artinya ini malah bisa membuat kami harus bekerja secara efisien," tegas Suwandi.
Menyikapi hal tersebut, Alexander Tan CEO Maybank Finance mengharapkan RUU P2SK ini dapat memberikan perlindungan bagi perusahaan pembiayaan.
“RUU P2SK diharapkan bisa memberikan dampak penguatan perlindungan kepada kami sebagai pelaku di industri jasa keuangan, sehingga ada balancing dengan adanya perlindungan terhadap konsumen juga,” kata Alexander.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy Artada