RUU Pemilu Matikan Partai Non Parlemen

Minggu, 08 April 2012 – 19:27 WIB

JAKARTA -- Ketua Umum Partai Damai Sejahtera (PDS) Denny Tewu mengatakan, revisi Undang-undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu yang menyebut peserta pemilu hanya partai yang di dalam parlemen, melanggar hak asasi partai peserta pemilu 2009 khususnya yang berada di luar parlemen.

Dia menjelaskan, pada UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu, pasal 8 ayat 2 disebutkan, peserta pemilu tahun 2009 dapat menjadi peserta pemilu berikutnya atau pemilu 2014, tanpa menyebutkan apakah partai tersebut di dalam parlemen atau di luar parlemen.

“Kalau dalam revisi UU Pemilu,  yang otomatis menjadi peserta pemilu hanyalah partai yang di dalam parlemen, jelas itu melanggar hak asasi partai peserta pemilu 2009, khususnya yang non parlemen RI,” kata Denny, kepada wartawan di Jakarta, Minggu (8/4).

Hal itu dikatakannya menanggapi pernyataan Ketua Tim Perumus (Timus) RUU Pemilu di DPR, Gede Pasek Suardika dalam rapat bersama pemerintah, bahwa partai politik di parlemen otomatis menjadi peserta pemilu.

Dijelaskan Denny, yang pasti  kebijakan tersebut sangat tidak patut serta jauh dari sifat kenegarawanan.

Karena, lanjut dia, telah mendiskriminasikan partai peserta pemilu 2009 yang non parlemen yang seharusnya memiliki hak yang sama dengan partai politik yang ada di parlemen bila mengacu pada UU Pemilu No 10 Tahun 2008 yang akan direvisi.

“UU Pemilu yang belum direvisi menyebutkan  hak parpol yang ada di parlemen dan non parlemen seperti PDS memiliki hak yang sama,” tukasnya.

Dikatakan,  jika hak PDS dihilangkan dengan harus mengikuti verifikasi sementara parpol di parleman lolos otomatis tanpa verifikasi, maka jelas itu hanya menguntungkan sepihak dan jelas sekali sangat diskriminatif dan melanggar asas kepatutan.

Dia menilai, lambatnya rentang waktu diselesaikannya revisi UU Pemilu karena masing-masing parpol, khususnya yang merasa dirinya besar, memiliki strategi untuk tetap bertahan dengan cara menghilangkan partai-partai  yang dianggap kecil.

"Walaupun jelas melanggar teori proporsionalitas dan berarti menghilangkan nilai dan semangat Bhineka Tunggal Ika, seperti penetapan Parlemen Thhreshold (PT) yang tinggi," ujarnya.

Padahal, kata Denny,  sesuai perhitungan ilmiah dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bahwa di NKRI yang majemuk, dimana masyarakatnya tersebar di berbagai kepulauan secara tidak merata jumlahnya dan Indonesia adalah Negara Kepulauan terbesar di dunia, maka ambang batas (PT) yang  proporsional dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademis adalah PT 1,03 persen.

"Sehingga untuk mendukung sistem presidensial dapat diperkuat dengan pembatasan fraksi di parlemen misalnya cukup dengan tiga fraksi saja yaitu; Fraksi Pemerintah, Fraksi Oposisi dan Fraksi Independen," jelasnya.

Fraksi yang sedikit dengan multi partai terbukti sukses di jalankan di daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten kota di seluruh Indonesia tanpa ada masalah yang berarti hingga saat ini.

“Bila tidak disikapi serius maka segala kemungkinan bisa saja terjadi apabila para legislator di parlemen RI tidak mampu berprilaku sebagai negarawan, dan hanya berpolitik secara transaksional tanpa kejujuran dan semangat nilai ideologi kebangsaan yang melandasi konsep berpikir mereka," ungkapnya.

Seharusnya, sambung dia, partai-partai tengah dan kecil di parlemen menyadari  kehancuran mereka sendiri  jika merasa puas hanya dengan diberikan ‘permen'. "Dan ini akan mengancam perasaan kesatuan kita," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tak Ada Jaminan Golkar Setia Dengan Setgab


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler