RUU Sistem Pengupahan Harus Jadi Solusi Berorientasi Daerah

Selasa, 03 Oktober 2017 – 15:03 WIB
Seminar Uji Sahih RUU Sistem Pengupahan yang diselenggarakan Komite III DPD RI di Universitas Islam Alauddin Makassar ( 18/07/2017). Foto: Humas DPD for JPNN.com

jpnn.com, MAKASSAR - Kompleksitas persoalan pengupahan di daerah telah menjadi problem menahun seiring dengan terjadinya benturan kepentingan antara pekerja dan pengusaha.

Komite III DPD RI berupaya menyelesaikan problematika pengupahan melalui kebijakan yang menyajikan solusi komprehensif berorientasi daerah.

BACA JUGA: Komite I DPD RI Gelar Seminar Dorong Pelaksanaan UU Desa

Diskusi ini mewarnai Kegiatan Seminar Uji Sahih RUU Sistem Pengupahan yang diselenggarakan Komite III DPD RI di Universitas Islam Alauddin Makassar ( 18/07/2017).

Dalam kegiatan Seminar Uji Sahih RUU Sistem Pengupahan, Pimpinan Komite III, Fahira Idris SE, MH mengungkapkan persoalan pengupahan telah menjadi bagian masalah hubungan industrial dan ketenagakerjaan.

BACA JUGA: DPD Perjuangkan Kesejahteraan Nelayan dan Petambak Garam

Fakta temuan di lapangan, implementasi peraturan perundangan pengupahan belum menciptakan iklim yang kondusif dan seimbang antar stakeholders yaitu pekerja, pemberi kerja dan pemerintah.

Sampai saat ini, masih terdapat persoalan di daerah berkaitan tuntutan pekerja yang disertai aksi demonstrasi. Setiap tahun, dalam perayaan May Day selalu menjadi kesempatan Serikat Pekerja untuk menyampaikan aspirasi berkaitan permasalahan buruh.

BACA JUGA: Fahira Idris: Wajah Indonesia Dilukis Dari Daerah

Persoalan pengupahan di daerah lainnya yaitu : daya tawar tenaga kerja yang tidak berimbang dengan lapangan pekerjaan, mutu tenaga kerja yang rendah, ketidaksesuaian upah dengan standar Kebutuhan Hidup Layak, upah minimum daerah, revisi PP Nomor 78 tahun 2015, pengawasan tenaga kerja asing, tantangan teknologi digital terutama pekerja online/daring, tuntutan produktivitas, dan daya saing perusahaan.

“Kehadiran rumusan Rancangan Undang-Undang Sistem Pengupahan secara strategis bertujuan untuk mewujudkan kebijakan terpadu yang memberikan jaminan kepastian hukum, perlindungan, dan kelangsungan usaha yang berdampak pada perekonomian nasional,” ungkap Fahira Idris.

Rumusan RUU ini secara jelas mengatur jangkauan dan ruang lingkup materi mengatur penghasilan yang layak, perlindungan upah, upah minimum, kesepakatan upah, denda dan pemotongan upah, perselisihan dan sanksi.

Pakar Hukum UIN Alauddin Makassar, Dr. Marilang, SH, M.Hum dalam seminar uji sahih memaparkan gagasan – gagasan strategis untuk penyusunan naskah akademik RUU Sistem Pengupahan.

Pakar ini mengungkapkan usulan untuk mempertajam kajian studi komparasi antar negara yang menjelaskan faktor-faktor yang melandasi terbentuknya kebijakan pengupahan.

Dalam aspek yang lain, Marilang mengapresiasi penyusunan RUU dengan mempertimbangkan kondisi masing- masing daerah yang memiliki varian lokal yang berbeda.

Seiring era desentralisasi, Pemerintah Propinsi memiliki kewajiban mengeluarkan kebijakan upah minimum setiap tahun berdasarkan kebutuhan hidup setempat, indeks harga, Upah Minimum daerah dan kesempatan kerja.

Kewenangan Pemerintah Propinsi harus disertai penerbitan Peraturan Daerah sehingga dalam UU Sistem pengupahan menginstruksikan terbentuknya Peraturan Daerah.

Kebijakan pengupahan menjadi momentum strategis untuk mengoptimalkan konstitusi UUD 1945 pasal 27. Pasal ini memberikan penghormatan akan hak asasi pekerja dalam memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak.

Sedangkan Abdul Wahab menambahkan beberapa gagasan strategis kebijakan pengupahan. Pertama, persoalan pengupahan sangat komprehensif sehingga mempertimbangkan analisis pemangku kepentingan ( pengusaha, pekerja, pemerintah dan masyarakat ).

Kedua, standar nilai-nilai religius khususnya nilai syariah harus dimasukkan dalam substansi pasal perundangan.

Ketiga, upah layak dimaknai secara luas dengan memberikan jaminan tunjangan sosial, kesehatan dan asuransi penting sebagai bentuk keamanan kerja dan keselamatan atas resiko kerja.

Empat, besaran upah dapat mempertimbangkan unsur pendidikan dan kualitas kerja. Kelima, perusahaan harus mempertimbangkaan dampak kebijakan pemutusan hubungan kerja.

Keenam, pasal struktur skala pengupahan harus melibatkan komponen tripartit ( Serikat Pekerja, Pemerintah dan Pengusaha ).

Kunjungan kerja dalam rangka uji sahih RUU Sistem Pengupahan diikuti Senator Komite III DPD RI antara lain ; Fahira Idris, SE, MH ( DKI Jakarta ), Bahar Buasan, ST, M.SM ( Bangka Belitung ), AM Iqbal Parewangi ( Sulsel ), Pdt. Carles Simaremare, S.Th, M.Si ( Papua ), Hj.Suriati Armayn (Malut), Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS (Bali), Ir. Stefanus, BAN Liow ( Sulut ), Maria Goreti, S.Sos, M.Si ( Kalbar ), KH Ahmad Sadeli Karim, Lc ( Banten ), Novita Anakotta, SH,MH ( Maluku ), H. Abdurrahman Abubakar Bahmid, Lc ( Gorontalo ). (adv/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengembangan EBT, Indonesia Bisa Contoh India


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler