Saatnya Menata Ulang Portofolio Investasi

Jumat, 27 Maret 2020 – 12:55 WIB
Founder IndoSterling Capital William Henley. Foto: Dok Pri

jpnn.com, JAKARTA - Oleh: Founder IndoSterling Group William Henley

 

BACA JUGA: Seperti Ini Cara Pertamina Tingkatkan Investasi Hingga 84 Persen

Pandemi virus corona (covid-19) kian menjadi-jadi. Sampai dengan tulisan ini dibuat, Jumat (26/3), penyakit itu telah menjangkiti 198 negara/kawasan dengan kasus terkonfirmasi 531.799, sembuh 123.942, dan meninggal 24.071.

Khusus untuk Indonesia, kasus terkonfirmasi 1.046, sembuh 46, dan meninggal 87.

BACA JUGA: Masyarakat Mulai Berburu Investasi Emas

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) tidak tinggal diam menyikapi situasi itu.

WHO mendorong negara-negara dengan kasus terkonfirmasi melakukan tes terhadap mereka yang suspect covid-19.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom menuturkan, apabila positif, mereka harus segera lakukan isolasi dan lakukan penelusuran terhadap pihak-pihak yang kontak dua hari sebelum.

Terhadap pasien yang dirawat, WHO meminta pasien dengan penyakit bawaan diprioritaskan.

Dari dalam negeri, Presiden Joko Widodo telah mengambil sejumlah langkah.

Mulai pembentukan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, penetapan darurat nasional hingga 29 Mei 2020, serta menggelar berbagai rapat terbatas membahas Covid-19 dari sejumlah aspek, termasuk ekonomi.

Terkini, Presiden memerintahkan pelaksanaan rapid test hingga mendatangkan lima juta obat Avigan dan Klorokuin yang diyakini mampu mempercepat penyembuhan COVID-19.

Di level pemerintah daerah, beberapa daerah sudah menetapkan tanggap darurat bencana.

Misalnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies Baswedan yang menetapkan tanggap darurat bencana mulai 20 Mei 2020 hingga 14 hari ke depan.

Tidak hanya itu, Anies pun menyerukan agar perkantoran menutup operasional dan melakukan kegiatan di rumah.

Tegal, Bali, dan Papua, menjadi di antara daerah di negeri ini yang secara lebih tegas memberlakukan lockdown bagi wilayahnya.

Lalu, bagaimana efektivitas kebijakan demi kebijakan itu?

Pilihan lockdown

"By the time COVID-19 is over, the death toll will be comparable to war."

Kata-kata di atas dituturkan Steven Magee, pakar radiasi dan kesehatan manusia asal Amerika Serikat.

Jika kalimat diterjemahkan secara bebas, Magee menuturkan ketika pandemi COVID-19 berakhir, jumlah korban meninggal akan setara dengan mereka yang tewas akibat peperangan.

Omong-omong, kapan pandemi itu akan berakhir? PM Inggris Boris Johnson bilang 12 minggu ke depan atau sekitar bulan Juni.

Sementara itu, pendiri Microsoft Bill Gates meramal 6-10 minggu ke depan atau kira-kira bulan Mei hingga Juni.

Di Indonesia, ITB memperkirakan puncak penyebaran virus corona pada akhir Maret 2020 dan berakhir pertengahan April 2020.

Terlepas dari diskusi seputar kapan pandemi ini berakhir, fokus utama tentu adalah menyembuhkan para korban covid-19.

Hal tidak kalah penting ialah menghentikan penyebaran virus corona. Mengapa ini krusial? Ada sejumlah alasan. Mulai keterbatasan sarana dan petugas kesehatan hingga roda perekonomian yang mulai terganggu.

Pemerintah terus mendorong masyarakat mengubah perilaku demi menyetop penyebaran covid-19.

Social distancing menjadi andalan pemerintah seraya mengimbau agar warga mulai bekerja, belajar, dan beribadah di rumah.

Namun, efektivitas imbauan itu sejauh ini 'jauh panggang dari api'. Maksudnya, masih banyak masyarakat yang tidak menaati imbauan tersebut.

Bahkan, paling ironis, salah satu bupati di Jawa Tengah malah memicu keramaian lantaran membagi-bagikan masker secara gratis kepada masyarakat.

Meski berniat baik, bupati itu telah memberikan contoh buruk kepada warga karena tidak menerapkan social distancing kepada pemerintah.

Oleh karena itu, penulis menilai perlu ada langkah tegas dari pemerintah pusat. Imbauan atau seruan tidak dipatuhi.

Perlu kebijakan dalam wujud perintah kepada pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, dan sektor-sektor lain agar menghentikan kegiatan operasional.

Perintah itu perlu diikuti dengan pengawasan ketat dari aparat keamanan. Jatuhkan sanksi tegas kepada para pihak yang melanggar.

Langkah berikut adalah lakukan lockdown sebagaimana negara-negara lain. Ambil contoh Manila di Filipina.

Presiden memang sudah menyatakan belum berpikir ke arah sana. Pun Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang menilai sulit menerapkan lockdown.

Bahkan, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto menyatakan lockdown sebagai alternatif paling ekstrem.

Namun, kembali lagi, lockdown menjadi pilihan rasional mengingat imbauan dan seruan tak didengar sebagian masyarakat.

Penulis menilai lockdown dapat berjalan lancar dengan sejumlah catatan.

Selain pelibatan aparat keamanan, pemerintah bersama asosiasi perlu memastikan stok pangan tersedia dengan harga normal.

Dengan begitu, tidak akan ada kekhawatiran lonjakan harga kebutuhan pokok tersebut.

Atur ulang investasi

Selalu ada hikmah dari sebuah krisis. Tidak terkecuali dari situasi penuh ketidakpastian akibat Covid-19 seperti sekarang.

Penulis menilai saat ini merupakan momentum yang tepat untuk menata ulang portofolio investasi pribadi kita. Mengapa?

Kondisi sekarang telah memaksa kinerja pasar modal dalam negeri terdampak.

Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia (BEI) sepanjang pekan ketiga mencatat penurunan 14,5 persen.

Nilai kapitalisasi pasar juga turun 13,5 persen atau Rp 824 triliun menjadi Rp 4.854,05 triliun.

Kendati begitu, sekarang merupakan waktu yang pas untuk set up long term portofolio investment.

Penulis menyarankan agar jangan dulu mengambil aset-aset yang berisiko, melainkan yang aman macam reksadana pasar uang atau fixed income.

Mengapa? Sebab, risiko investasi di sisi tersebut lebih rendah ketimbang.

Namun, jika Anda lebih tertarik mengambil reksadana saham, dipersilakan dengan catatan pilih yang berpotensi naik di tengah situasi sekarang.

Saham-saham perbankan blue chip macam BCA maupun BRI dapat dijadikan pilihan.

Sebab, tren kinerja dua bank itu dari tahun ke tahun memiliki tren stabil.

Hindari saham-saham yang pergerakan harga stagnan di level 50 alias saham gocap, apalagi saham-saham emiten yang 'bandel' tidak melaporkan laporan keuangan ke otoritas atau melanggar aturan BEI dan OJK.

Di titik ini, rasa-rasanya kita tentu tidak akan salah langkah bukan? (jos/jpnn)


Redaktur & Reporter : Ragil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler