jpnn.com, JAKARTA - Para Alumni/Sahabat Penyatu PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) menilai komunikasi politik Istana tampaknya sering melakukan blunder dalam menanggapi isu-isu yang berkembang akhir-akhir ini. Respons istana atas sebuah masalah di media sering sekali menjadi bola liar yang tidak terkendali di publik.
“Hal ini yang turut didiskusikan saat acara Ngopi Sabtu (Ngobrol Pintar Sahabat Penyatu) para alumni PMKRI lintas generasi dan profesi,” kata Inisiator/Koordinator Sahabat Penyatu PMKRI, Emanuel Migo kepada wartawan, Minggu (13/10).
BACA JUGA: PMKRI Minta Presiden Bentuk TPF Usut Dugaan Diskriminasi Terhadap Mahasiswa Papua
Migo menjelaskan diskusi para alumni PMKRI dalam Acara NGOPI SABTU, akhir pekan lalu menghasilkan beberapa catatan kritis dan rekomendasi kepada Presiden Jokowi agar serius menata ulang tim dan perangkat komunikasi politiknya.
BACA JUGA: Pemuda Katolik: Menerima Pancasila Sebagai Jalan Terbaik Merawat Indonesia
Inisiator/Koordinator Sahabat Penyatu PMKRI, Emanuel Migo (kedua kanan)
“Harus ada pembantu presiden yang mampu menyinkronkan pemikiran para tokoh, jaringan gerakan rakyat, mahasiswa dan kelompok-kelompok lainnya. Istana harus mampu menghimpun aspirasi masyarakat,” demikian catatan para Alumni/Sahabat Penyatu PMKRI seperti disampaikan Emanuel Migo.
Lebih lanjut, Migo menegaskan tujuan komunikasi politik adalah membentuk persepsi publik yang baik dan juga membentuk opini publik yang positif. Citra politik secara keseluruhan terbentuk berdasarkan informasi yang diterima masyarakat secara langsung maupun melalui media dan media sosial.
“Pesan politik harus disampaikan dengan lugas oleh orang-orang yang paham persoalan dan mumpuni,” kata mantan Sekjen PP PMKRI ini.
Migo yang merupakan alumni PMKRI Cabang Makassar ini, mengingatkan rakyat bukan hanya sebagai khalayak saja dalam komunikasi politik melainkan juga komunikator dalam model komunikasi timbal balik yang secara aktif memberikan penilaian. Persepsi dan kesan yang buruk pasti akan sangat merugikan presiden dan dapat berdampak pada berkurangnya dukungan dari rakyat.
“Presiden tidak boleh hanya mengandalkan media sebagai tempat "curhat" tanpa kejelasan sistem informasi publik yang seharusnya tercermin dalam pengelolaan komunikasi politik istana,” kata Migo.
Menurut Migo, Alumni PMKRI menilai sepertinya memang ada masalah besar di lingkaran Istana terkait pengelolaan dinamika politik, terutama tentang pengelolaan komunikasi politik yang dibangun. Tercatat bahwa pada tahun 2017, Jokowi pernah mengeluhkan komunikasi politik ke publik yang belum maksimal dan kurang luas menjangkau publik.
“Jokowi gerah dan sudah beberapa kali mengingatkan namun tidak juga ada perbaikan. Di periode pertama pemerintahannya, Jokowi sangat dirugikan dengan lemahnya komunikasi politik istana,” kata Migo mengutip pandangan yang berkembangan dari diskusi para alumni PMKRI.
Oleh karena itu, kata Migo, Jokowi perlu sekali dukungan yang maksimal dalam hal komunikasi politik istana. Pengalaman pada periode pertama penting sebagai bahan evaluasi agar pengelolaan komunikasi politik ini ditinjau kembali dan ditata ulang.
“Kritik buruknya komunikasi politik istana saat ini harus diperbaiki dalam tataran siapa yang harus bicara apa dan dengan cara bagaimana. Tidak semua hal harus diberikan porsinya kepada presiden yang menyampaikan ke publik. Lalu, pesan yang keluar harus jadi pembuka sumbatan saluran ke dan dari publik, bukan sebaliknya malah terjadi disinformasi,” tegas Migo.
Sebagai contoh, menurut Alumni PMKRI adalah pernyataan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko bahwa KPK menghambat masuknya investasi di Indonesia. Termasuk pernyataan Moeldoko soal buzzer politik istana.
Selain itu, pernyataan Tenaga Ahli Madya Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin soal situasi dan kasus Papua yang penanganannya tampak tidak terorkestrasi dengan baik dan yang terakhir soal statement Menkopolhukam Wiranto bahwa pengungsi gempa Ambon membebani negara ini turut menambah riuh situasi politik.
Menuru Migo, buruknya sistem komunikasi politik di lingkaran Istana ditengarai sebagai sumber kegaduhan politik belakangan akhir-akhir ini. Akibatnya, Istana dianggap belum mampu mengajak masyarakat untuk memahami dan mendukung berbagai kebijakan pemerintah.
“Ini sebuah ironi karena beberapa orang dalam lingkaran Istana terkesan komunikasi dan pernyataannya justru menciptakan distorsi pemahaman publik sehinga berdampak pada resistensi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Parahnya lagi, Presiden Jokowi seolah berjalan sendirian, sementara yang lain sibuk menyelamatkan diri masing-masing untuk sejumlah kepentingan di kabinet dan jabatan lainnya di periode baru ini,” kata Migo.
Untuk dietahui, sejumlah alumni dan penyatu PMKRI yang hadir dalam diskusi NGOPI SABTU antara lain politikus PDIP Restu Hapsari dan Stefanus Asat Gusma serta Yohanes Fransiskus Lema (Anggota DPR RI Fraksi PDIP), Sebastian Salang (Pengamat Politik), Antonius Doni Dihen (politikus PKB dan mantan TKN Jokowi-Ma’ruf).
Sedangkan dari kalangan profesional yang hadir di antaranya Gaudens Wodar, Leonardo J. Renyut, dan Emanuel Migo. Hadir pula dari kalangan lawyer Monica, Emanuel Herdiyanto serta bloger Priyo Husodo, pegiat LSM Indro Surono dan Geby Sola.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich