Saham Publik IPO Minimal 15 Persen

Revisi Regulasi Berlaku Surut

Sabtu, 15 Juni 2013 – 05:04 WIB
JAKARTA - Bursa Efek Indonesia (BEI) terus berupaya untuk meningkatkan gairah transaksi perdagangan saham di pasar modal. Lantaran itu, pembentukan regulasi bursa tentang aturan minimal pelepasan perdana saham ke publik (initial public offering/IPO) bagi calon emiten pun dikebut.

Ke depan, saham yang dilempar ke pasar bagi perusahaan yang melantai di bursa minimal sebesar 15 persen dari modal disetor. Tak hanya itu, saat ini BEI juga tengah mengkaji batas minimal porsi saham yang beredar di publik (free float) untuk memberi ruang yang lebih besar bagi transaksi saham investor ritel.

"Untuk batas minimal pelepasan saham emiten ke publik, masih kami kaji antara 15 persen hingga 20 persen," ungkap Direktur Penilaian Perusahaan BEI Hoesen, kemarin (14/6).

Sesungguhnya, regulasi mengenai batas minimal saham yang harus dilepas ke publik tersebut bukan perkara baru. Ini merujuk pada peraturan BEI nomor I-A tentang pencatatan saham dan efek bersifat ekuitas selain saham yang diterbitkan oleh perusahaan tercatat.

Regulasi yang disahkan pada 2004 lalu itu menegaskan bahwa jumlah saham publik (pemegang saham yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (minority shareholders), adalah minimal 50 juta lembar saham, atau minimal 35 persen dari modal disetor.

Sayangnya pada prakteknya, peraturan tersebut tidak begitu efektif. Bahkan, meski Pemerintah telah memberikan insentif berupa pemotongan 5 persen tarif pajak penghasilan, jika jumlah kepemilikan saham publik emiten mencapai 40 persen, atau lebih dari keseluruhan saham yang disetor.

"Ini karena aturan di BEI sendiri memberikan peluang emiten untuk memilih mana yang dianggap lebih kecil, antara melepas minimal 50 juta saham, atau minimal 35 persen," jelasnya.

Kendati demikian, Hoesen mengaku BEI lebih sering tidak mengizinkan calon emitennya yang hanya akan melepas 50 juta saham.

Hal ini terjadi pada salah satu emiten baru yang melepas saham publik di bawah ketentuan regulasi, yakni PT Dharma Satya Nusantara (DSNG). Perseroan CPO yang baru go public itu hanya melepas saham sebanyak 12,97 persen dari modal yang ditempatkan.

Jumlah tersebut merupakan koreksi dari rencana awal 500 juta lembar saham menjadi 225 juta lembar saham.

"Itu pertimbangan underwriter untuk menyeimbangkan posisi saham Perseroan di pasar. Sehingga perlu kami kurangi," ungkap Direktur Utama PT Ciptadana Securities Ferry Budiman Tanja, usai pencatatan perdana saham DSNG kemarin (14/6).

Sebaliknya, emiten yang porsi saham publiknya semakin besar adalah PT Matahari Department Store Tbk (LPPF). Dalam RUPS tahun buku 2012 kemarin, LPPF memutuskan untuk menambah persentase kepemilikan saham publiknya sebesar 1,85 persen menjadi 47,4 persen.

Hoesen menyambung, pihaknya juga tengah menggodok aturan saham beredar di publik yang biasanya dimiliki oleh investor ritel (free float).

"Saham free float ini yang nantinya sangat menetukan likuiditas perdagangan saham emiten di bursa. Tapi penerapan batas minimal porsinya belum kami putuskan. Masih dikaji," jelasnya.     

Mengapa saham free float ini harus diatur? Ini lantaran ada praktek beberapa IPO emiten yang melepas 10 persen saham ke pasar, namun porsi free float-nya hanya 2 persen.

Langkah ini banyak diambil para penjamin emisi yang menilai saham emiten baru lebih prospektif jika dialirkan pada investor korporasi dibandingkan ritel. Padahal, konsekuensi saham emiten yang banyak dimiliki investor korporasi cenderung tidak atraktif di bursa.     

Tak pelak, hal itu memicu BEI bakal memberlakukan surut revisi regulasi tersebut. Sehingga, tidak hanya untuk emiten baru, namun juga emiten yang sudah mencatatkan sahamnya di BEI.

"Tentu saja kami memberikan waktu penyesuaian dalam penerapannya. Yang jelas peraturan ini (free float) wajib untuk seluruh emiten," paparnya. (gal)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Merpati Ucapkan Terimakasih Pada Semua Pihak

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler