Said Abdullah Minta Pemerintah Mewaspadai Dampak Perang Israel dengan Iran

Selasa, 16 April 2024 – 12:57 WIB
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah. Foto: Humas DPR

jpnn.com - Iran secara resmi menyatakan penghentian serangan ke Israel, setelah pada Sabtu, 13 April 2024 lalu Iran menyerang secara langsung Israel.

Menanggapi hal itu, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah mengatakan serangan Iran terhadap Israel ini berdampak kontan atas kenaikan beberapa komoditas strategis global.

BACA JUGA: Konflik Israel-Iran Memanas, Airlangga: Parpol Perlu Bersatu

Terjadi kenaikan harga minyak, menyentuh di level 90,5 US Dolar per barel dari posisi sebelumnya di harga 89 US Dolar per barel.

“Setelah menyatakan penghentian serangan atas Israel pada 13 April 2024 lalu, apakah perang antara Iran dan Israel akan berakhir? Kita berharap serangan ini berakhir, sehingga ketegangan di Timur Tengah makin mereda. Namun, melihat kemungkinan tren yang ada, eskalasi geopolitik di Timur Tengah akan tetap membara,” ujar Said Abdullah, Selasa 916/4).

BACA JUGA: Simak, Pengamat Perbankan Bicara Dampak Konflik Israel-Iran

Seperti kita ketahui bersama, sejak pecah Revolusi 1979, Iran mengubah orientasi kebijakan luar negerinya terhadap Israel.

Kedua negara terlibat perang proxy berlangsung sangat lama. Oleh karena itu, Said memperkirakan permusuhan kedua negara tidak akan segera berakhir dalam waktu dekat dan setiap saat bisa terjadi konfrontasi lanjutan.

BACA JUGA: Israel Dibombardir Iran, Arab Saudi Dilanda Kecemasan Mendalam

Lebih lanjut, Said meminta pemerintah proaktif melakukan langkah-langkah strategis terkait perang antara Israel dan Iran.

Pertama, proaktif melakukan upaya diplomatik melalui lembaga lembaga internasional, baik di PBB maupun OKI untuk mendorong gencatan senjata dari kedua negara, sejalan dengan mencari upaya damai perang antara Israel dan Palestina.

Lebih lanjut, Said mendorong PBB untuk lebih memiliki makna dalam upaya penciptaan perdamaian dunia.

“Upaya ini memang tidak mudah. Sebab pembelaan Amerika Serikat dan Inggris yang begitu kuat kepada Israel,” ujar Said.

Apalagi jika dilihat dari sisi keuntungan ekonomi, eskalasi di Timur Tengah yang mendongkrak harga minyak dunia, menguntungkan kedua “blok politik” besar, yakni Tiongkok, Rusia versus Amerika Serikat, Arab Saudi, Kanada yang sama sama produsen minyak bumi dan senjata besar di dunia.

Kedua, proaktif mengamankan pasokan minyak bumi untuk kebutuhan di dalam negeri. Sebab kita bergantung dari impor minyak mentah dan hasil minyak rata rata 3,5 juta ton per bulan, merujuk data tahun 2023.

Jika perang masih berlanjut, kata Said, jalur suplai minyak bumi melalui Selat Hormuz akan terganggu. Apalagi Iran termasuk 10 negara terbesar dunia yang memproduksi minyak buminya hingga 3,45 juta barel per hari pada tahun 2023.

“Dampak kenaikan harga minyak dunia akan menjadi beban besar bagi APBN kita,” ujar Said.

Ketiga, proaktif mempersiapkan kesiapan APBN menghadapi tekanan eksternal imbas dari kenaikan harga minyak dan depresiasi US Dolar terhadap rupiah.

Sebab setiap rupiah yang melemah sebesar Rp 500 dan harga minyak naik US$ 10 per barel, maka anggaran subsidi atau kompensasi diproyeksi meningkat Rp 100 triliun.

APBN 2024 mematok rupiah di level Rp 15.000/ US Dolar dan ICP 82 US Dolar/ barel.

Beberapa pengamat menyatakan, harga minyak bumi bisa menyentuh 120 US Dolar per barel jika distribusi minyak bumi melalui Selat Hormuz terganggu, sebab jalur ini menjadi penopang 21 persen lalu lintas minyak bumi dunia.

Keempat, proaktif memastikan ketersediaan US Dolar bagi para importir komoditas strategis, seperti bahan pangan, dan minyak bumi, sekurang kurangnya enam bulan kedepan, untuk memastikan efektivitas lindung nilai.

Termasuk pro aktif untuk mengembangkan skema pembayaran lebih variatif untuk menggantikan US Dolar, dengan terus mengembangkan local currency settlement, terutama pada pembayaran komoditas strategis di sektor pangan dan energi.

Kelima, proaktif memastikan kemampuan pemerintah untuk pembayaran Surat Berharga Negara (SBN) dan utang luar negeri yang berdenominasi US Dolar, mengingat tren adanya depresiasi Rupiah dari US Dolar, dari batas rata rata yang ditetapkan di APBN 2024.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler