jpnn.com, JAKARTA - Pemerhati hukum tata negara Said Salahudin menyarankan keberpihakan PKS dan Partai Demokrat pada perjuangan rakyat yang menolak RUU Cipta Kerja, perlu dilanjutkan di DPR.
Kedua parpol itu bisa mengambil peran sebagai inisiator pembatalan UU Cipta Kerja melalui proses ‘legislative review’.
"Penolakan PKS dan Partai Demokrat terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja di Sidang Paripurna DPR beberapa waktu lalu wajar diapresiasi. Namun, perjuangan mereka dalam memenuhi aspirasi rakyat tersebut semestinya tidak berhenti hanya sampai di situ," ujar Said dalam keterangannya, Jumat (16/10).
Menurut direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini, untuk lebih meyakinkan publik bahwa PKS dan Demokrat konsisten pada sikapnya, maka perlu mengambil langkah-langkah politik lanjutan yang bersifat strategis dan konstitusional.
BACA JUGA: Wapres Maruf Ingatkan Pihak-pihak yang Keberatan RUU Ciptaker, Jangan Buat Kegaduhan
Salah satu langkah politik yang bisa ditempuh untuk membatalkan omnibus law adalah dengan cara menggagas pembentukan sebuah undang-undang baru.
"Undang-undang baru yang saya maksudkan adalah sebuah undang-undang yang kira-kira judulnya adalah “undang-undang tentang pencabutan atas Cipta Kerja," ucapnya.
BACA JUGA: Jumpa Pers soal Ciptaker, Azis Syamsuddin Mohon Maaf dan Minta Publik Percaya DPR
Said menyarankan, dalam undang-undang baru yang nantinya digagas PKS dan Demokrat, tidak perlu memuat banyak norma.
Cukup dimuat beberapa pasal yang pada pokoknya menyatakan bahwa Cipta Kerja dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang baru tersebut.
"Sebagai partai politik yang memiliki kursi di parlemen, PKS dan Demokrat memiliki kewenangan untuk itu. Sebab, kader-kader mereka di DPR memiliki hak konstitusional untuk mengajukan usul Rancangan Undang-Undang (RUU). Hak itu dijamin oleh Pasal 21 UUD 1945," ucapnya.
Menurut Said menilai, gagasan mengajukan RUU mengenai pencabutan Cipta Kerja oleh anggota-anggota DPR dari Fraksi PKS dan Demokrat, memiliki landasan yuridis yang kuat.
Dasarnya adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat. Alasan tersebut merupakan salah satu alasan normatif untuk membentuk sebuah undang-undang.
"Gelombang aksi unjuk rasa besar-besaran menolak omnibus law yang tak kunjung berhenti belakangan ini kan jelas menunjukan adanya kebutuhan hukum dari masyarakat untuk membatalkan Omnibus Law Cipta Kerja," ucapnya.
Said kemudian menyebut, bahwa untuk membatalkan Cipta Kerja melalui proses ‘legislative review’, DPR seperti halnya MK juga memiliki hak menguji (‘toetsingsrecht’) sebuah UU yang ia bentuk sendiri.
Perangkat hukum yang dibutuhkan DPR untuk membatalkan UU dimaksud adalah dengan cara membentuk undang-undang yang lain lagi.
"Sebab, undang-undang hanya bisa dibatalkan dengan undang-undang juga.
Jadi, usulan mengajukan RUU mengenai pencabutan Cipta Kerja oleh anggota DPR dari PKS dan Demokrat yang saya sarankan ini ada ‘legal reasioning’-nya," kata Said.
Said lebih lanjut mengatakan, terkait dengan hal yang dia sampaikan, anggota-anggota dari PKS dan Demokrat bisa menjadi inisiator sekaligus motor penggerak penggalangan tanda tangan pengusulan RUU mengenai pembatalan UU Cipta Kerja.
Setelah dimulai dari anggota-anggota PKS dan Demokrat sendiri, selanjutnya bisa mengajak anggota-anggota dari fraksi lain guna memperluas dukungan.
"Orang seperti Fadli Zon dari Fraksi Gerindra, misalnya, mungkin juga mau ikutan tanda tangan. Bahkan, setelah terjadi aksi unjuk rasa besar-besaran kemarin, boleh jadi sudah ada fraksi lain yang mau melakukan pertobatan dan bersedia mengubah sikap politiknya mendukung pembatalan Cipta Kerja," pungkas Said.(gir/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang