Saipul Jamil

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 07 September 2021 – 17:24 WIB
Saipul Jamil meninggalkan Lapas Kelas I Cipinang, Jakarta Timur, Kamis (2/9). Foto: Firda Junita/JPNN.com

jpnn.com - Maunya memboikot Saipul Jamil, tetapi malah memberi publikasi gratis. Keluar dari penjara, Saipul malah menjadi lebih populer beberapa hari terakhir ini.

Gegara ada 400 ribu orang yang menandatangani petisi untuk memboikotnya muncul di televisi, Saipul Jamal malah viral di mana-mana.

BACA JUGA: Tak Hanya Saipul Jamil, Ini Deretan Artis yang Pernah Diboikot Tampil di TV

Saipul yang pernah terlibat kasus pedofilia--pelecehan seksual terhadap anak-anak--tidak mendapatkan sebutan sebagai ‘’penyintas pelecehan seksual’’, sebagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan penyebutan ‘’penyintas koruptor’’ kepada mantan narapidana kasus korupsi.

Saipul dicegah muncul di televisi karena dianggap akan membawa pengaruh buruk kepada pemirsa.

BACA JUGA: Saipul Jamil Wira-wiri di Televisi, Petisi Boikot Nyaris Tembus 500 Ribu Tanda Tangan!

Kemunculan Saipul dikhawatirkan akan memberi pendidikan buruk kepada pemira televisi, terutama yang masih kanak-kanak, karena dianggap melakukan glorifikasi terhadap pelaku kejahatan seksual.

Ini adalah peningkatan standar moral yang patut diapresiasi. Para pelaku kejahatan harus diboikot dari media massa nasional. Banyaknya penandatangan petisi yang memboikot Saipul bisa menjadi indikasi bahwa masyarakat sadar mengenai pengaruh buruk yang ditimbulkan televisi terhadap khalayak.

BACA JUGA: Arie Kriting Ogah Karyanya Tayang di Televisi yang Munculkan Saipul Jamil

Karena itu, mantan narapidana seperti Saipul harus diboikot dari televisi.

Sebagai bagian dari media massa, televisi diharapkan memainkan peran idealis untuk memberikan informasi, memberikan edukasi, melakukan kontrol sosial, selain memberikan hiburan kepada khalayaknya.

Dalam praktiknya, televisi lebih banyak memainkan peran entertaining (hiburan) saja dibanding tiga peran lainnya. Peran-peran informasi, pendidikan, dan kontrol sosial, mungkin dilakukan oleh televisi, tetapi semuanya dikemas dalam bentuk hiburan.

Itu memang sudah fitrah televisi dari ‘’sononya’’. Televisi diciptakan semata-mata untuk memberikan hiburan. Dari pagi sampai pagi lagi, televisi hanya menyajikan hiburan.

Informasi dalam bentuk pemberitaan akan dikemas sebagai hiburan. Edukasi yang memberikan pendidikan juga akan dikemas dalam bentuk entertainment. Bahkan, kalau harus melakukan kontrol sosial pun, televisi akan mengemasnya dalam bentuk entertainment.

Karena itu, ketika Saipul Jamil bebas dari penjara maka naluri hiburan televisi mencium aroma yang sangat sedap.

Pembebasan Saipul mempunyai unsur-unsur entertainment yang komplet, untuk disajikan menjadi makanan yang bakal disantap sampai habis oleh audiens.

Karena itu kemudian ada siaran live dari pintu penjara. Ada pengalungan bunga, ada sambutan, ada seremonial, ada sejumlah fan yang menyambut dengan gegap gempita. Semua diatur sesuai skenario yang rapi untuk disajikan sebagai hiburan yang ekstravaganza.

Tim kreatif sudah menyusun story board dan run down yang rapi. Dialog-dialog sudah disiapkan, dan narasi sudah dibikin.

Pembebasan itu harus menjadi entertainment yang benar-benar menghibur. Saipul Jamil didandani dan didapuk sebagai pahlawan dan superstar.

Sambutannya jauh lebih meriah dibanding sambutan terhadap Leani Ratri Oktila dan Khalimatus Sadiyah. Siapa dia? Tidak banyak yang tahu. Leani dan Khalimatus adalah pasangan atlet bulu tangkis yang memenangi medali emas Paralimpiade di Tokyo.

Dua atlet difabel itu menjadi pahlawan Indonesia di kancah internasional, sama seperti Greysa Polli dan Apriani Rahayu.

Bedanya, Leani dan Khalimatus adalah atlet difabel yang menyandang kekurangan fisik. Namun, prestasi Leani melampaui semua atlet Indonesia yang pernah berlaga di arena Paralimiade.

Leani memenangi dua medali emas dari cabang bulu tangkis, ganda putri dan ganda campuran bersama Hery Susanto.

Tidak ada sambutan yang gegap gempita untuk Leani dan Khalimatus. Tidak ada sambutan kepahlawanan untuk Leani dan kawan-kawan. Tidak ada satu pun televisi yang melakukan siaran langsung untuk menyambut kedatangan Leani dan kawan-kawan.

Mengapa demikian? Karena para pengelola televisi itu tidak melihat ada potensi hiburan yang bisa dijual dari para atlet difabel. Coba, siapa yang mau menonton para atlet difabel yang baru turun dari pesawat dengan membawa kalungan medali emas? Mau dikemas seperti apa pun event itu tidak bisa menjadi entertainment yang extravaganz.

Kita menonton televisi hanya untuk disodori dengan hiburan. Tak lebih dan tidak kurang. Sehebat apa pun peristiwanya, televisi tidak akan menyiarkannya kalau tidak menghibur.

Kita mencari hiburan di televisi sampai kekenyangan dan akhirnya mati. Sebuah acara kontes dangdut akan berlangsung dari magrib sampai tengah malam non-stop tanpa henti. Itulah televisi. Itulah hiburan.

Menghibur Diri Sampai Mati. ‘’Amusing Oursleves to Death’’ adalah buku yang ditulis sosiolog Amerika Neil Postman pada 1985. Buku jadul itu sampai sekarang masih tetap dijadikan refenrensi bagi yang ingin memahami hakikat televisi.

Terasa ada yang ironis di dalamnya. Kita mencari hiburan pada televisi, tetapi dengan hiburan itu kita tidak menjadi lebih senang dan bahagia. Kita tidak menjadi segar dan berumur panjang, tetapi kita mencari hiburan untuk mencari mati.

Itulah hakikat televisi, menurut Postman. Menghibur khalayak dan kemudian membunuhnya pelan-pelan. Hakikat televisi adalah hiburan. Karena itu televisi tidak bisa menjalankan peran pemberi informasi, pengedukasi, atau pengontrol sosial. Peran-peran itu dilakukan televisi sebagai pelengkap peran utamanya sebagai entertainer.

Itulah sebabnya semua acara dikemas sebagai entertainment. Berita yang membawa informasi, harus dikemas sebagai hiburan yang atraktif. Diskusi dan debat politik, harus tetap dikemas sebagai pertunjukan show biz. Apa saja yang muncul di televisi adalah hiburan.

Televisi beda dengan koran dan majalah yang bisa menyajikan narasi panjang dan mendetail. Karena itu koran dan majalah bisa menjalankan fungsi ideal media massa, memberi informasi, edukasi, dan kontrol sosial.

Itulah yang oleh Marshall McLuhan disebut sebagai ‘’the medium is the message’’, media itulah yang menjadi pesannya.

Hakikat televisi sebagai media hiburan sudah melekat menjadi hakikat. Televisi tidak bisa dipaksa menjadi media pendidikan, karena secara teoretis hal itu bertentangan dengan hakikat. Itulah yang mendasari pandangan McLuhan bahwa media membawa ‘’message’’ masing-masing.

Jadi, kalau kita mengharapkan televisi memberi pendidikan kepada khalayak, itu adalah harapan yang salah alamat. Lebih tepat kalau kita bersyukur bahwa televisi tidak memberikan pendidikan kepada khalayak.

Kalau ada yang berharap televisi memberi informasi, maka harapan itu akan menjadi harapan kosong. Akan sangat lebih baik kalau televisi tidak usah memberi informasi. Kalau ada yang berharap televisi akan melakukan kontrol sosial, harapan itu akan menjadi pepesan kosong. Akan jauh lebih baik jika televisi tidak melakukan kontrol sosial.

Televisi tercipta bukan untuk tugas-tugas itu. Televisi tercipta untuk menghibur. Itulah inti pandangan Postman. Dia menyimpulkan bahwa kita akan dihibur oleh televisi sampai mati. Kita terhibur oleh televisi, tetapi bersamaan dengan itu kita mati dibunuh oleh televisi.

Mengharapkan dan memaksa televisi untuk tidak menyiarkan acara-acara Saipul Jamil adalah pemerkosaan terhadap hakikat televisi. Karena itu, cara terbaik adalah tidak usah menghidupkan televisi, kalau tidak ingin mati bunuh diri. (*)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler