"Jika izin penyiaran tidak bisa dilanjutkan (tidak bisa beroperasi lagi, Red), maka dengan alasan apapun frekuensi itu harus dikembalikan ke negara," kata Effendi Gazali di hadapan majelis Mahkamah Konstitusi, Jakarta.
Mengawali kesaksiannya, Dosen Senior Ilmu Komunikasi itu mengatakan, legal standing pemohon yang mengajukan uji materi UU Penyiaran adalah sah dan wajib dilakukan secara konsisten.
"Pemohon ingin kepastian hukum dalam konteks satu badan hukum untuk melawan fenomena kapitalistik terselubung atau alibaba, kepemilikan lintas negara, kecepatan teknologi, dan sebagainya," kata Effendy Gazali.
Dalam konteks ini, kata dia, apapun alasannya, izin penyelenggara penyiaran dilarang dipindahtangankan dengan cara apapun. Entah itu dialihkan, dijual dalam badan apapun dan dalam tingkatan manapun.
Mengenai apakah sebuah badan hukum bisa memiliki lebih dari satu frekuensi, Effendy mengatakan, secara pribadi tidak boleh. "Karena roh UU Penyiaran adalah diversity of ownership," katanya.
Yang lebih penting dari semuanya itu, kata dia, pemilik stasiun televisi harus jujur mengakui dari mana saham atau frekuensi itu berasal, jika dipindahtangankan harus dijelaskan kepada publik dan dikembalikan ke KPI atau negara.
Sementara itu, Santi Indrastuti, saksi ahli lainnya yang dihadirkan LSPP menyebut bahwa saat ini demokratisasi penyiaran di Tanah Air sudah sangat mengkhawatirkan. Akibatnya, keberagaman isi dan kepemilikan belum terwujud karena kuatnya monopolistik terjadi di mana-mana.
"Padahal UU Penyiaran dengan tegas melindungi kepentingan-kepentingan publik, dan demokratisasi penyiaran yang terwujud dalam keanekaragaman tayangan dan hindari monopolistik," tambahnya.
Santi menyebutkan pentingnya demokratisasi penyiaran, yang hanya dapat terwujud dalam diversity of content dan diversity of ownership. Jika tidak, imbuh dia, akan memunculkan kapitalisme baru.
Sementara saksi ahli yang dihadirkan pemerintah, Muzakir dalam paparannya mengatakan, Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU Penyiaran dengan tegas membatasi kepemilikan frekuensi dan dilarang dipindahtangankan.
Hal itu diperkuat dalam PP No 50 Tahun 2005 yang mengatur pembatasan kepemilikan frekuensi dan melarang pemindahtanganan. "Esensinya adalah untuk mencegah monopoli dalam lembaga penyiaran. Jika dilanggar, akan dikenakan sansi pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 5 miliar," katanya.(fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... DPR Sidak Kantor Ditjen Pajak
Redaktur : Tim Redaksi