JAKARTA - Tragedi penyerangan Lapas Kelas IIA Cebongan, Sleman, Jogjakarta, yang menewaskan empat tahanan menyisakan trauma mendalam bagi penghuninya. Akibatnya, 42 saksi yang berasal dari lapas tersebut menolak dihadirkan dalam sidang militer dengan terdakwa 11 anggota Korps Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat.
Penolakan para saksi yang terdiri atas 11 pegawai lapas dan 31 tahanan itu direspons Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan menawarkan alternatif. Yakni, menghadirkan mereka dalam sidang melalui video conference. Cara tersebut dianggap paling aman dari potensi intimidasi selama sidang.
Anggota LPSK Teguh Sudarsono mengatakan, pihaknya memegang janji panglima TNI dan KSAD bahwa sidang kasus Cebongan bakal bersifat terbuka. Artinya, publik bisa mengakses sidang tersebut. Namun, bagi para saksi, pengadilan militer masih menjadi hal yang menakutkan.
Awalnya, untuk menghindari intervensi maupun tekanan terhadap saksi, LPSK mengusulkan agar lokasi sidang dipindah dari Jawa Tengah. Sidang bisa dilaksanakan di daerah lain seperti Jawa Barat atau Jawa Timur. Namun, hingga saat ini, usul tersebut belum mendapat lampu hijau.
LPSK masih punya permohonan kedua. Yakni, tidak menghadirkan saksi secara langsung di sidang. Ada dua cara yang ditawarkan. Pertama, hakim datang ke lokasi yang ditentukan LPSK untuk memeriksa saksi. Kedua, para saksi hadir dalam bentuk video conference di sidang. Teguh berharap permohonan untuk menggunakan video conference bisa dikabulkan Mabes TNI. ""Paling tidak, kami sudah mendapat kepastian lima hari sebelum sidang agar bisa bersiap-siap,"" tuturnya.
LPSK saat ini melindungi para saksi secara fisik di Lapas Cebongan. Mereka enggan dipindahkan ke tiga lapas lain di Jogjakarta. Anggota Brimob Polda DIJ pun diterjunkan untuk mengamankan kawasan lapas. ""Awalnya, kami minta bantuan Kapolri untuk menerjunkan pasukan dari Kelapa Dua (Brimob Pusat) atau Densus 88. Tapi, Mabes Polri menghendaki lapas dijaga Brimob Polda DIJ,"" ujarnya.
Menurut Teguh, kasus Cebongan sangat rawan tekanan terhadap saksi. Ancaman kepada para saksi datang dari para tersangka atau teman-teman mereka yang notabene merupakan pasukan khusus dengan kemampuan sangat mumpuni. Sementara itu, para saksi merupakan warga sipil.
""Dengar gebrakan sepatu (lars) 20 orang saja, mereka sudah ketakutan. Bukan hanya para saksi yang takut. Para pelindungnya, bahkan hakim pun, takut,"" katanya.
LPSK tidak ingin para saksi tertekan di pengadilan oleh tatapan mata tersangka dan koleganya. Dalam proses penyidikan, LPSK mendatangkan penyidik polisi militer ke Lapas Cebongan. Para saksi dimintai keterangan di aula lapas. (byu/c7/ca)
Penolakan para saksi yang terdiri atas 11 pegawai lapas dan 31 tahanan itu direspons Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan menawarkan alternatif. Yakni, menghadirkan mereka dalam sidang melalui video conference. Cara tersebut dianggap paling aman dari potensi intimidasi selama sidang.
Anggota LPSK Teguh Sudarsono mengatakan, pihaknya memegang janji panglima TNI dan KSAD bahwa sidang kasus Cebongan bakal bersifat terbuka. Artinya, publik bisa mengakses sidang tersebut. Namun, bagi para saksi, pengadilan militer masih menjadi hal yang menakutkan.
Awalnya, untuk menghindari intervensi maupun tekanan terhadap saksi, LPSK mengusulkan agar lokasi sidang dipindah dari Jawa Tengah. Sidang bisa dilaksanakan di daerah lain seperti Jawa Barat atau Jawa Timur. Namun, hingga saat ini, usul tersebut belum mendapat lampu hijau.
LPSK masih punya permohonan kedua. Yakni, tidak menghadirkan saksi secara langsung di sidang. Ada dua cara yang ditawarkan. Pertama, hakim datang ke lokasi yang ditentukan LPSK untuk memeriksa saksi. Kedua, para saksi hadir dalam bentuk video conference di sidang. Teguh berharap permohonan untuk menggunakan video conference bisa dikabulkan Mabes TNI. ""Paling tidak, kami sudah mendapat kepastian lima hari sebelum sidang agar bisa bersiap-siap,"" tuturnya.
LPSK saat ini melindungi para saksi secara fisik di Lapas Cebongan. Mereka enggan dipindahkan ke tiga lapas lain di Jogjakarta. Anggota Brimob Polda DIJ pun diterjunkan untuk mengamankan kawasan lapas. ""Awalnya, kami minta bantuan Kapolri untuk menerjunkan pasukan dari Kelapa Dua (Brimob Pusat) atau Densus 88. Tapi, Mabes Polri menghendaki lapas dijaga Brimob Polda DIJ,"" ujarnya.
Menurut Teguh, kasus Cebongan sangat rawan tekanan terhadap saksi. Ancaman kepada para saksi datang dari para tersangka atau teman-teman mereka yang notabene merupakan pasukan khusus dengan kemampuan sangat mumpuni. Sementara itu, para saksi merupakan warga sipil.
""Dengar gebrakan sepatu (lars) 20 orang saja, mereka sudah ketakutan. Bukan hanya para saksi yang takut. Para pelindungnya, bahkan hakim pun, takut,"" katanya.
LPSK tidak ingin para saksi tertekan di pengadilan oleh tatapan mata tersangka dan koleganya. Dalam proses penyidikan, LPSK mendatangkan penyidik polisi militer ke Lapas Cebongan. Para saksi dimintai keterangan di aula lapas. (byu/c7/ca)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BPPI Ajak Pengusaha Investasi Pusaka
Redaktur : Tim Redaksi