Saksi: Monopoli Frekuensi Penyiaran Langgar UU

Rabu, 15 Februari 2012 – 16:47 WIB
JAKARTA - Sejumlah saksi ahli yang memberikan keterangan dalam persidangan uji materi UU Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan pemusatan dan monopoli frekuensi penyiaran melanggar Undang-Undang (UU) No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Para saksi itu sepakat bahwa monopoli itu terjadi akibat multitafsir atas  Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4 UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 

Saksi ahli yang memberikan pendapat di persidangan itu antara lain, Koordinator Masyarakat Peduli Media (MPM) Yogyakarta Lukas S Pandriano, Ketua Asosiasi Televisi Komunitas Budi Hermanto, Amir Effendi Siregar, dan Leo Batubara.

Di hadapan persidangan yang dipimpin Mahfud MD, saksi ahli Budi Hermanto mengatakan, negara telah mengabaikan prinsip diversity of content (keberagaman isi) dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan) industri penyiaran sejak UU Penyiaran diberlakukan pada tahun 2002. Akibatnya, publik jadi objek dari monopolisasi televisi swasta. Keragaman isi dan kepemilikan tidak terwujud dalam dunia penyiaran Indonesia.

"Publik dipaksa menerima isi siaran dari Jakarta. Ini semua akibat monopoli dan tidak jalannya sistem siaran berjaringan," kata Budi Hermanto di Jakarta, Rabu (15/2).

Amir Effendi Siregar mengatakan, MK harus memberikan tafsir yang tepat atas pasal-pasal yang diuji sesuai dengan amanat UUD 1945.  Menurut Amir, hal itu sangat penting karena pemerintah sebagai regulator juga melakukan multitafsir atas UU Penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun melakukan hal yang sama.

"Dalam kasus akuisisi Indosiar oleh sebuah perusahaan besar, KPI hanya mengatakan, jika akuisisi itu dilaksanakan, maka berpotensi melanggar hukum," katanya. Amir melihat, dunia penyiaran telah dikuasai atau dimonopoli sekelompok orang karena multitafsir atas UU tersebut. 

"Padahal media yang menggunakan ranah publik harus high regulated. Karena frekuensi itu milik publik, milik kita, milik MK, dan bersifat terbatas," tambahnya.

Jika tidak ada jaminan diversity of content dan diversity of ownership, maka dunia penyiaran hanya akan melahirkan otoritarianisme, kapitalisme, dan sudah tentu akan menghancurkan demokrasi yang sedang kita bangun saat ini. Leo Batubara yang hadir sebagai saksi ahli yang diundang MK mengatakan, penyelesaian pelanggaran oleh lembaga penyiaran, yang terbukti melakukan jual beli frekuensi penyiaran atau melakukan pemusatan kepemilikan media, sebaiknya diajukan ke jalur hukum. Karena pelanggaran terhadap UU Penyiaran, kata Leo, dapat dipidana penjara 2 tahun atau denda Rp 5 miliar.

Pendapat serupa juga dikemukakan Lukas S Pandriano. Ditegaskannya, saat ini televisi swasta dikuasai lima pengusaha atau konglomerat besar, yang mengakibatkan terjadinya monopoli dalam kepemilikan dan isi berita.

"Kami di daerah selalu menjadi korban monopoli dunia televisi, kami disuguhkan berita yang sangat bias elite, berita tentang Jawa, atau Jabodetabek. Sedikit sekali slot berita tentang daerah. Ini semua terjadi akibat monopoli kepemilikan frekuensi dalam industri penyiaran," katanya.

Karena itu, MPM Yogyakarta mendukung Koalisi Independen Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang mengajukan gugatan uji materi ke MK, sehingga tidak terjadi multitafsir atas UU Penyiaran.MPM Yogyakarta juga meminta agar MK membuat penafsiran yang berpihak kepada publik, sehingga siaran televisi menjamin diversity of content (keragaman isi) dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan).(fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pimpinan dan Penyidik KPK Beda Persepsi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler