SAKTI Menuding Polisi Medan Culik 46 Mahasiswa

Senin, 24 Juni 2013 – 21:16 WIB
JAKARTA – Dewan Pimpinan Nasional Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) menyebut langkah Kepolisian Resort Kota Medan yang sampai saat ini masih menahan 46 mahasiswa pasca demonstrasi menentang kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), merupakan tindakan penculikan.

“Kami menyebutnya diculik, karena tidak ada surat penahanan maupun identitas korban represif aparat. Karena itu hari ini (Senin,red) kami melaporkan dugaan tindakan pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan Polresta Medan ke Komnas HAM,” ujar Ketua Umum SAKTI, Standarkiaa Latif di gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (24/6).

Menurutnya, langkah pengaduan dilakukan sekaligus mendesak agar Komnas HAM segera membentuk tim investigasi guna memeriksa Polresta Medan. Sebagai langkah awal, SAKTI menurut Standarkiaa, telah menyerahkan berbagai bukti yang ada. Selain itu mereka juga akan segera menyerahkan bukti tambahan paling lambat Rabu (26/6) besok.

“Ada tujuh dugaan pelanggaran yang dilakukan Polresta Medan. Di antaranya pelanggaran atas UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya pasal 1 ayat 4 tentang penyiksaaan. Kemudian Pasal 4 tentang hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut,” katanya.

Dugaan pelanggaran lainnya atas UU No 5 /1998 tentang pengesahan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.

“Selain itu kita menduga Polresta Medan juga telah melakukan pelanggaran UU No 12/2005 tentang kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Pelanggaran UU No. 9/1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, khususnya Pasal 7 yang mengatur bahwa dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara, aparatur pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi hak asasi manusia, menghargai asas legalitas, menghargai prinsip praduga tidak bersalah dan menyelenggarakan pengamanan,” katanya.

Sementara itu Sekretaris Jenderal SAKTI, Girindra Sandino, menduga Polresta Medan melakukan pelanggaran UU No. 2/2002 tentang Kepolisian, khususnya Pasal 14 ayat (1) huruf a, yang mengatur bahwa polisi bertugas melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.

“Kita juga menduga Polresta Medan telah melakukan pelanggaran UU No. 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni khususnya penetapan para tersangka serta pelanggaran hak untuk didampingi oleh penasehat hukum sejak pertama kali ditetapkan sebagai tersangka, juga pelanggaran atas hak untuk menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan,” ujarnya.

Menurutnya dugaan pelanggaran terjadi saat aksi unjukrasa digelar 17 Juni lalu. Saat itu berbagai organisasi mahasiswa dan rakyat di Medan yang tergabung dalam Barisan Mahasiswa dan Rakyat (BARAK), menggelar aksi massa menolak kenaikan harga BBM.

Menurut Girindra berdasarkan laporan yang diterima SAKTI, aksi awalnya berlangsung damai di kantor DPRD Medan. Kemudian siang harinya BARAK menggeser aksinya ke kampus Universitas HKBP Nommensen dengan menggelar mimbar bebas, pemblokiran jalan, dan membakar ban bekas.

Sekitar pukul 19.00 WIB massa rakyat dan mahasiswa semakin banyak berkumpul serta mulai resah dan kembali membakar ban dengan lebih besar lagi. Hal ini membuat massa rakyat mulai tidak terkendali. Namun masih dapat di kendalikan oleh aliansi BARAK agar tidak sampai melakukan tindakantindakan yang destruktif .
“Tapi sungguh sangat disayangkan sampai pada saat seperti itu, tidak ada jajaran kepolisian yang datang untuk membantu pengamanan agar aksi tersebut tetap berlangsung damai” katanya.

Akibatnya menurut Girindra, sekitar pukul 21.30 WIB saat massa menerima informasi kenaikan BBM disetujui rapat paripurna DPR RI, massa tidak terkendali. Akibatnya luapan ketidakpuasan berakibat penghancuran sejumlah fasilitas umum, termasuk Restoran KFC yang ada di depan kampus Universitas HKBP Nommensen. .

“Ironisnya, pihak kepolisian yang kantornya (Polresta Medan) hanya berjarak 700 M, juga tidak datang untuk melakukan pengamanan aksi massa rakyat yang sudah tidak terkontrol itu. Dimana seolah-olah pihak Kepolisian dari Polresta Medan sengaja melakukan pembiaran dan menjebak massa untuk melakukan tindakan kriminal lebih jauh. Sehingga dengan dalih adanya tindakan kriminal, pihak kepolisian memiliki alasan menyerang massa rakyat dan mahasiswa dengan brutal dan beringas,” katanya.

Hal ini menurut Girindra terlihat setelah kedatangan polisi yang langsung menyerang massa rakyat dan mahasiswa tanpa adanya himbauan, peringatan atau aba-aba sesuai dengan Standard Operating Prosedur (SOP). Yang diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No.7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

“Secara prosedural, seharusnya pihak kepolisian melakukan himbauan terlebih dahulu baru menggunakan alat taktis water canon dan tindakan akhir melakukan tembakan peringatan serta pembubaran secara paksa,” katanya.

Dalam aksi tersebut SAKTI mencatat 87 orang ditangkap, 5 mahasiswa kritis akibat tembakan dan penyiksaan, dan 126 mengalami bocor di bagian kepala. Selain itu, sejumlah aktivis mengalami tangan dan kaki patah, gigi rontok, muntah darah dan lain-lain.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gelombang Tinggi, Nelayan Tunda Melaut

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler