Salah Tentukan Haluan, Dosa Besar Bagi Perencana Pembangunan

Rabu, 13 April 2016 – 02:26 WIB
Menpar Arief Yahya. Foto: Dok.JPNN

jpnn.com - MENPAR Arief Yahya rupanya menjadi inspirator di forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Sumsel, di Hotel Horison, Palembang, Selasa, (12/4). 

Di depan Gubernur, Walikota dan Bupati se Sumatera Selatan,  Mantan Dirut PT Telkom ini membeberkan, mengapa sektor pariwisata diformat sebagai prioritas nasional, selain infrastruktur, energi, pangan dan matirim? Ini jawabannya!

BACA JUGA: Apa Kabar 8 Program untuk Danau Toba?

Tanpa basa-basi, Arief Yahya mengupas habis dari hal yang paling fundamental, yakni portofolio bisnis. Mumpung berada di tengah-tengah para pejabat perencana, yang akan membuat arah dan prioritas kebijakan daerah. “Jangan salah arah! Sekali salah menentukan haluan, semakin jauh dari cita-cita yang hendak dicapai. Dan itu adalah dosa besar bagi perencana pembangunan!” ucap Menpar lugas.

Kata-kata itu sangat dalam. Arief Yahya tidak berniat mementahkan rencana besar yang sudah lama ingin diwujudkan di Bumi Sriwijaya itu. Apalagi sekedar mendapatkan pujian dan tepuk tangan riuh di hadapan sekitar 250 orang di sana. 

BACA JUGA: Desa Ini Sudah Puluhan Tahun Tanpa Listrik

Dia sedang membongkar cara berpikir lama dengan pemahaman yang sangat mendasar, tentang goal yang hendak dicapai untuk menaikkan value Sumsel ke depan. Untung, Gubernur Alex Noerdin dan seluruh bupati-walikota serta pejabat yang hadir tergolong open mind. Tidak keukeuh dan bertahan dengan romantisme masa lalu yang bisa keblinger.

Arief Yahya memulai dengan The Third Wave-nya Alfin Toffler dalam Future Shock yang sudah ditulis tahun 1986. Ada tiga gelombang perubahan monumental dalam peradaban manusia. “Gelombang pertama adalah agriculture, kehidupan agraris, sector pertanian. Lalu, gelombang kedua, manufacturing, pabrik-pabrik, era industri, era mesin-mesin produksi dan bersifat masal. Gelombang ketiga, era teknologi informasi. Saat ini adalah ujung dari gelombang ketiga itu,” kata Insinyur jebolan ITB Bandung itu.

BACA JUGA: 49 Kapal Perang Berkumpul

Lalu apa yang akan terjadi di masa depan? Dr Philip Kotler, Guru Besar Kehormatan S.C. Johnson & Son bidang Pemasaran Internasional di Kellog Graduate School of Management, Northwestern University itu menyebut gelombang selanjutnya adalah “creative industry” atau “cultural industry.” Jauh meninggalkan manufacture, apalagi agriculture. 

“Pariwisata masuk dalam cultural industry! Jasa atau services akan lebih berprospek daripada dua bidang, agriculture dan manufacture itu. Karena itu, kalau kita salah setting, kita akan kehilangan kesempatan untuk memenangkan persaingan global,” tegas Arief Yahya.

Manufacture, kata peraih Marketeer of The Year 2013 oleh MarkPlus itu, bukan tidak boleh dikembangkan. Sangat boleh, terutama untuk kepentingan domestic market, penyerapan tenaga kerja, dan supplay untuk ketahanan nasional. 

“Tetapi kalau untuk bersaing dengan negara lain di dunia, kita tidak akan bisa mengalahkan China. Laki-laki diciptakan Tuhan, perempuan juga diciptakan Tuhan, sisanya made in China,” kelakar Arief Yahya, yang menyebut manufacture itu value chain-nya paling rendah saat ini.  

Apa sih tugas seorang leader? Seorang CEO –Chief Executive Officer, atau Bupati, Walikota dan Gubernur itu? “Tugas paling mendasar adalah memberikan arah, dan mengalokasikan sumber daya! Baik budget maupun manusia. Pertanyaannya, apakah sudah benar dalam alokasi anggaran ke sector yang sudah pasti bakal menaikkan value added daerah? Atau masih menggunakan asumsi lama yang terus merosot? Apakah sudah betul menempatkan SDM terbaiknya ke sector yang menjadi prioritas?” kata Menpar yang S-2 nya di Surrey University Inggris itu. 

Pria asli Banyuwangi yang beristri orang Palembang inipun memaparkan angka-angka yang sulit dibantah. Sumber UN-WTO Tourism Highlight 2014, UN-WTO World Tourism Barometer 2015, WTTC 2015 meyakinkan, meskipun krisis global terjadi beberapa kali, jumlah perjalanan wisatawan internasional tetap tumbuh positif. “Tahun 1950 ada 25 juta orang. Tahun 1980 melompat menjadi 278 juta. Tahun 1995 menanjak lagi 528 juta. Dan tahun 2014 ada pergerakan wisatawan 1,14 Miliar orang,” jelas Menpar.

Pariwisata sudah mengalami ekspansi dan diversivikasi berkelanjutan, dan menjadi salah satu sector ekonomi yang terbesar dan tercepat pertumbuhannya di dunia. Meningkatkan destinasi dan investasi pariwisata menjadi factor kunci dalam pendapatan eksport, penciptaan lapangan kerja, pengembangan usaha dan infrastructure. “Itulah mengapa pariwisata menjadi sector unggulan, kunci pembangunan, kesejahteraan dan kebahagiaan,” katanya.

Tahun 2015, kata Arief Yahya, Travel & Tourism secara langsung menyumpangkan USD 2,4 triliun pada PDB. Nilai itu berarti dua kali lipat dibandingkan industry otomotif dan hampir 50% lebih besar dari industry kimia global. “Kontribusi total pariwisata dunia terhadap PDB Dunia selalu meningkat setiap tahun. Tahun 2015 naik 4,3 persen, diprediksi 2016 naik 4,7 persen, dan selama 10 tahun ke depan akan naik 4,5 persen,” ungkapnya.

Coba bandingkan dengan devisa dari Minyak dan Gas (oil and gas): Tahun 2013 sebesar USD 33M, tahun 2014 turun USD 30M, dan di 2015 tinggal USD 18,9M. Bandingkan juga dengan batubara (coal): Tahun 2013 masih USD 25M, tahun 2014 menjadi USD 21M, dan tahun 2015 tinggal USD 16M. Begitu pun CPO atau minyak kelapa sawit, tahun 2013 masih USD 16M, tahun 2014 sempat naik USD 17M, tahun 2015 turun jadi USD 15M. “Hanya pariwisata yang terus naik, USD 10M (2013), USD 11M (2014), dan USD 12M (2015). “Dalam bisnis itu, proyeksi lebih penting daripada performance,” katanya.

Maksudnya, saat ini oil and gas, coal dan CPO masih mendominasi tiga besar penghasil devisa terbesar Indonesia. Tapi ketiganya, mengalami trend menurun. Minyak lebih ngeri lagi, sudah target produksinya turun dari tahun sebelumnya, harganya pun anjlok, dari sempat USD 100 per barel, sekarang tinggal USD 35 per barel. “Dalam membuat portofolio bisnis, orang lebih melihat proyeksi. Prospek ke depan. Sekarang mungkin belum perform, tapi ke depan akan menjadi primadona,” katanya.

Dia mencontohkan WhatsApp (WA), perusahaan yang performance-nya masih rugi. Tetapi Facebook mau membeli dengan harga USD 20M, atas perusahaan rugi. Bagaimana logikanya? “Karena Facebook melihat ada proyeksi yang sangat bagus dan menjanjikan di WA. Tidak membeli performance saat ini yang masih minus, Pariwisata," jelasnya.(ray/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wow! di Maluku Ada 117 Bahasa Daerah


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler