Salut! Inggris Stop Bantuan untuk Militer Myanmar

Kamis, 21 September 2017 – 09:10 WIB
PM Inggris Theresa May menandatangani surat permohonan Brexit. Foto: AP

jpnn.com, COX’S BAZAR - Pemerintah Inggris bertindak tegas menghadapi sikap pemerintah Myanmar yang seakan membiarkan kekerasan terjadi di Negara Bagian Rakhine.

PM Inggris Theresa May mengungkapkan, negaranya tak mau lagi membantu militer di negara yang dipimpin Presiden Htin Kyaw tersebut sebelum ada kejelasan mengenai kasus Rohingya.

BACA JUGA: Isu PKI Muncul Karena Joko Widodo Tak Berhasil Ditumbangkan

”Aung San Suu Kyi dan pemerintah Myanmar harus menghentikan operasi militer (di Rakhine, Red),” ujar May saat menghadiri rapat umum PBB di New York, AS, Selasa (19/9).

May menegaskan sudah berdiskusi dengan negara-negara sekutunya tentang hal tersebut. Termasuk dengan PM Kanada Justin Trudeau.

BACA JUGA: Yakinlah, Kritik Prabowo soal Bantuan Rohingya Sangat Mulia

Sejak tahun lalu Inggris memberikan bantuan kepada militer Myanmar. Bukan dalam bentuk uang tunai, melainkan pelatihan bahasa Inggris, demokrasi, dan kepemimpinan.

Program itu dilaksanakan sejak militer legawa menyerahkan kekuasaan kepada warga sipil. Tepatnya Htin Kyaw yang terpilih dalam Pemilu 2015. Tahun lalu pelatihan tersebut menghabiskan dana 305 ribu pound sterling (sekitar Rp 5,5 miliar).

BACA JUGA: Bukan Pencitraan, Membantu Rohingya Adalah Amanat Konstitusi

Keputusan May itu diambil karena dia dan kepala negara lainnya merasa kecewa setelah mendengar pidato Aung San Suu Kyi.

Penerima Nobel Perdamaian 1991 sekaligus penasihat negara Myanmar tersebut tak mengakui adanya represi militer terhadap warga Rohingya di Rakhine.

Selama ini mayoritas pemimpin negara di dunia masih sebatas mengecam. Baru Inggris yang memulai dengan tindakan nyata.

Di forum yang sama, PM Bangladesh Sheikh Hasina kembali mendesak dunia internasional bersatu menghentikan kekerasan di Myanmar dan menyelesaikan krisis yang mengakibatkan lebih dari 400 ribu warga Rohingya melarikan diri ke wilayahnya tersebut.

Dia tidak berkeberatan menampung mereka. ”Ada yang tanya bagaimana saya memberi makan orang Rohingya. Kau tahu, Bangladesh punya 160 juta penduduk. Kalau kami bisa menyediakan makanan untuk mereka, 700–800 ribu warga Rohignya tidak akan memberatkan,” tegasnya.

Hasina mengaku sudah pernah berkunjung ke kamp pengungsian di Cox’s Bazar. Situasi di sana mengingatkannya akan genosida terhadap penduduk Bangladesh pada Maret 1971.

Saat itu militer Pakistan membumihanguskan rumah-rumah orang Bengali, memerkosa ribuan perempuan dan membunuh mereka. Sepuluh juta orang akhirnya mengungsi ke India. Hampir serupa dengan nasib Rohingya saat ini.

Pemerintah Bangladesh rencananya membuat kamp baru yang bisa menampung sekitar 400 ribu pengungsi dalam sepuluh hari ke depan.

Tapi, hingga kemarin belum ada pembangunan. Beberapa pompa air juga sudah dipasang di berbagai titik sekaligus dibuatkan tempat untuk buang air.

United Nations Population Fund (UNFPA) ikut turun tangan dengan menerjunkan 35 bidan untuk membantu para pengungsi yang baru saja dan akan melahirkan.

Mereka juga membantu perempuan yang mengalami penyakit menular seksual dan kekerasan seksual. Sejak konflik di Rakhine mencuat 25 Agustus lalu, para bidan itu sudah membantu kelahiran 200 bayi. (Reuters/TheGuardian/BDNews24/DailyMail/sha/c9/any)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Arief Poyuono Sebut Jokowi Cuma Pencitraan Bantu Rohingya


Redaktur & Reporter : Adil

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler