Sambut Hari HAM Internasional, Sejumlah Peneliti Menuntut Kapolri Diganti

Rabu, 11 Desember 2024 – 17:24 WIB
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat rapat kerja dengan Komisi III DPR, Jakarta, Senin (11/11). Foto : Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah pegiat hak asasi manusia (HAM) menuntut Jenderal Listyo Sigit Prabowo dicopot dari jabatan kepala kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).

Hal demikian disampaikan mereka dalam pernyataan sikap bersama yang disampaikan memperingati Hari HAM Internasional.

BACA JUGA: Kapolri Diminta Segera Tindak Oknum yang Bermain di Kasus Hotel Sing Ken Ken

"Perombakan kepemimpinan termasuk di pucuk pimpinan tertinggi, yaitu Kapolri yang mesti dilakukan secepatnya mengingat kinerja kepemimpinan selama ini menjauh dari ciri polisi negara demokrasi dan hak asasi," tulis pernyataan sikap bersama seperti dikutip Rabu (11/12).

Adapun, pihak yang menyampaikan pernyataan ialah pendiri Social Movement Institute Eko Prasetyo, peneliti Social Movement Institute Ursula Lara dan Paul FR, peneliti LBH Pos Malang Daniel Siagian, anggota Yayasan Tifda Zico Mulia, serta Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid.

BACA JUGA: Polisi yang Ditembak Mati Rekan Sendiri Dapat Kenaikan Pangkat Anumerta dari Kapolri

Selain meminta Jenderal Listyo mundur, para peneliti juga meminta polisi menghentikan kebijakan penggunaan kekerasan dalam merespons aksi damai.

Mereka juga meminta polisi memberi ruang bagi publik menilai kinerja Polri melalui partisipasi masyarakat memilih pimpinan kepolisian di level pusat hingga daerah.

BACA JUGA: Kapolri Jenderal Listyo Perintahkan Jajaran Terus Mengejar Fredy Pratama

"Memastikan aparat kepolisian di semua level untuk memahami, mengerti bahkan mampu untuk bertindak sesuai dengan prinsip prinsip HAM," kata mereka dalam pernyataan bersama.

Para peneliti juga meminta Polri memberikan hukuman keras pada aparat yang terbukti melakukan kekerasan dengan menjatuhkan sanksi pidana bukan etik.  

"Membatasi dan mengontrol wewenang dan anggaran kepolisian yang selama ini tidak dikaitkan dengan kinerja polisi dalam penghormatan pada HAM," kata mereka.

Peneliti menyampaikan tuntutan itu karena kekerasan polisi terus berulang, tetapi tidak ada investigasi sebagai bentuk akuntabilitas terhadap pelanggaran.

Mereka pun mengutip keterangan Amnesty International yang menyebut 579 warga sipil menjadi korban kekerasan polisi selama rangkaian unjuk rasa 22-29 Agustus 2024 di sejumlah provinsi, Indonesia.

Para peneliti juga mengungkap selama Januari-November 2024 terdapat total 116 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di berbagai wilayah di Indonesia.

"Merespons situasi ini, kami menyatakan negara dalam keadaan darurat kekerasan polisi. Berulang kali kekerasan polisi terjadi dan menelan korban dalam luar biasa," demikian tertulis dalam pernyataan bersama.

Mereka pun menilai Polri menjadi institusi yang gagal menjadi pelindung apalagi pelayan masyarakat.

"Maka penting bagi kami untuk menyerukan adanya evaluasi atas kinerja kepolisian dengan meletakkan alat ukur HAM sebagai parameternya," ungkap mereka dalam pernyataan bersama. (ast/jpnn)


Redaktur : M. Adil Syarif
Reporter : Aristo Setiawan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler