Sebagai seorang ibu muda, Anne Russell mengetahui bahwa ada yang tak beres dari putranya, Seth. Sang anak laki-laki tergolong impulsif, depresi dan pemarah. Pada usia 10 tahun, ia bahkan berbicara tentang bunuh diri.

Pencarian Anne atas sebuah jawaban berakhir ketika Seth berusia 17 tahun. Ia mengalami kerusakan otak, dan kebiasaan mengkonsumsi alkohol yang dilakukan Anne selama masa kehamilan adalah penyebabnya.

BACA JUGA: Menlu Australia Dukung Pernikahan Sesama Jenis

"Saya benar-benar berpikir saya adalah seorang orangtua yang buruk ... Saya benar-benar berpikir saya-lah penyebabnya, saya pikir saya melakukan sesuatu yang salah," tuturnya.


Anne Russell memeluk putranya, Seth. (Foto: Four Corners)

BACA JUGA: Gen Bisa Jadi Salah Satu Penyebab Obesitas

Anne mengatakan, "Saya tak tahu bagaimana menjadi orangtua yang baik, [saya pikir] saya tak akan menjadikan anak-anak ini sebagai anak produktif yang bahagia yang mencintai kehidupan- saya akan menghancurkan mereka."

Ia selalu menyalahkan dirinya sendiri atas perilaku anaknya. Ia teringat akan malam-malam tanpa tidur, tak pernah cukup yakin apakah Seth berkeliaran di jalan.

BACA JUGA: 12 Bulan Sejak Peraturan Alkohol Diterapkan di Sydney, Jumlah Kekerasan Turun

"Saya terbangun di tengah malam, saya memeriksa kamarnya dan ia tak ada di sana, saya harus pergi keluar atau mengendarai mobil untuk mencoba menemukannya," kenang Anne.

"Setiap sirene polisi yang berbunyi, setiap kali melihat polisi lewat, setiap kali kami mendengar ambulans, itu Seth. Begitu buruknya sampai kami punya lelucon satir, 'apa yang terjadi dengan Seth?'," ceritanya.

Anne mengunjungi banyak dokter untuk mencari jawaban. Ketika ia menemukan jawaban itu, ternyata datangnya dari seorang spesialis di belahan lain duni, yakni Kanada.

Ia merasa takut dengan analisa yang menyebut bahwa Seth menderita Gangguan Spektrum Alkohol saat Janin (FASD). Selama kehamilan, Anne menganggap dirinya sebagai seorang peminum rata-rata.

"Saya bukan seorang alkoholik, saya jelasnya bukan seorang pecandu alkohol pada saat itu, tapi saya minum secara sosial, beberapa minuman," katanya.

Anne mempelajari dari para ahli bahwa alkohol adalah racun terhadap otak yang tengah berkembang - lebih buruk dari ganja, kokain atau heroin.

Terlebih, hanya dibutuhkan sedikit alkohol untuk menyebabkan kerusakan itu. Seth sekarang berusia 31 tahun. Dia telah berdamai dengan kondisinya, tapi masih berjuang.

"Aku ingin bunuh diri sepanjang hidup saya," jelas Seth.

"Saya terlihat baik-baik saja, saya berbuat baik, saya pandai bicara, tapi tak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi di dalam kepala saya. Hal yang otak saya lakukan terhadap saya tanpa saya memintanya," cerita pemuda ini.

Tak ada yang tahu pasti berapa banyak orang di Australia dipengaruhi oleh gangguan alkohol saat masih janin.

Perkiraan konservatif- berdasarkan studi di luar negeri -menyebut kisaran jumlah penderita sebanyak 500.000 orang.

Jumlah itu lebih banyak dari gabungan penderita ‘down syndrome’, ‘spina bifida’ dan ‘cerebral palsy’.

Tak sadar bahaya alkohol

Setiap pagi, Claire Holland selalu berjuang agar anak perempuannya yang berusia 10 tahun, Jaimie, mau pergi ke sekolah.

"Tantangan utamanya adalah berusaha untuk menjaga diri tetap tenang ... saya harus membimbingnya setiap langkah, tahap demi tahap," ujar Claire.

Seiring dengan tumbuhnya Jaimie, Claire dan suaminya, Brad, diberitahu bahwa sang putri menderita ADHD (Gangguan Hiperaktif Kurang Perhatian), tetapi mereka menduga ada sesuatu yang lebih dari itu.

"Kami mencoba mengunjungi terapis dan psikolog yang berbeda, kami mencoba semua strategi yang berbeda dengan perilakunya, tapi itu tampaknya tak bekerja," ungkap Claire.

"Kami tahu ada sesuatu yang lain, ada sesuatu yang lain ... saya paham sebagai seorang ibu, ada sesuatu yang tidak benar," sambungnya.

Claire dan Brad terkejut akan jawabannya: Jaimie menderita FASD.

"Saya tidak tahu kerugian yang bisa ditimbulkan kebiasaan minum alkohol, kerusakan otak yang disebabkan. Saya terkoyak dengan rasa bersalah dan itu adalah masa yang benar-benar gelap," aku Claire.

Minum alkohol adalah rutinitas harian dari Claire dan suaminya.

"Saya rasa saya juga pantas disalahkan, karena saya berada di sana selama kehamilan, minum dengannya," ujar Brad.

"Tak pernah sampai parah, kami tak pernah mabuk buta ... menurut saya, maksudnya saya pulang dari kerja, minum bir, minum bir lagi, menuangkan bir untuk Claire," aku sang ayah.

Claire mengatakan, ia sekarang harus hidup dengan rasa bersalah atas kebiasaan minumnya dulu, tapi berharap pengalamannya bisa memberi pelajaran bagi orang lain.

"Saya benar-benar malu atas apa yang telah saya lakukan dan butuh banyak waktu bagi saya untuk benar-benar menerimanya. Saya ingat duduk terdiam pada suatu hari dan menjelek-jelekkan diri saya sendiri, membenci diri sendiri,” ungkapnya.

"Saya hanya berpikir, 'siapa yang terbantu? Ini tak membantu saya, ini jelas tak membantu Jaimie. Cukup, bangun, gunakan energy itu'. Saya akan selalu memiliki rasa bersalah, tentu saja, tapi saya menolak untuk duduk dan berkubang dalam duka, itu tak baik," tuturnya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Masih Dianggap Kurang Inovatif Dalam Masalah Bisnis

Berita Terkait