SEBAGAI negara yang baru merdeka satu dekade lalu, Timor Leste memang masih sangat bergantung kepada negara lain. Terutama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat Timor Leste.
Ketergantungan terhadap suplai barang-barang dari luar negeri sangat tinggi. "Hampir semua bahan kebutuhan pokok di negara ini diimpor dari Indonesia," kata Altide Santos, dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Nasional Timor Leste, kepada Jawa Pos.
Bahkan, lanjutnya, setidaknya 80 persen kebutuhan sembako harus dipenuhi dari impor dari Indonesia. Sisanya, dari Australia, Tiongkok, dan Thailand.
Apalagi jalur perdagangan selalu melalui perbatasan, di Atambua, atau melalui laut. Surabaya merupakan salah satu wilayah penting dalam hubungan dagang dengan Timor Leste," lanjut pengusaha konstruksi di Dili tersebut.
Karena tingginya ketergantungan itu berakibat pada tingginya harga barang-barang kebutuhan pokok. Apalagi, Timor Leste belum memiliki mata uang tersendiri dan masih memakai USD (dolar Amerika Serikat) sebagai mata uang utamanya.
Pemerintah Timor Leste hanya mengeluarkan uang receh pecahan sen mulai dari 1 sen hingga 50 sen. "Itulah yang membuat standar harga di sini menjadi sangat tinggi. Jauh sekali dibandingkan Indonesia," kata Altide.
Bandingkan saja, negara kecil seperti Timor Leste, harga bensin rata-rata 1 USD 25 sen atau setara Rp 12 ribu. Akibatnya, biaya transportasi menjadi tinggi, lalu berdampak pada banyak aspek ekonomi lainnya.
"Di sini semua pakai dolar. Coba Anda beli air mineral itu (dia menunjuk air mineral botol kecil), di sini harganya 50 sen (setara Rp 5 ribu). Sehari-hari kalau Anda makan di warung, paling tidak sekali makan habis 3-4 dolar," kata Florencio Mau, warga Dili yang ditemui Jawa Pos di Aimutin.
Bagi warga asing yang banyak bertebaran di Dili, yang bekerja pada PBB ataukah perusahaan-perusahaan asing, harga itu mungkin tidak memberatkan. Tetapi, bagi warga lokal, itu sangat mahal. "Mau bagaimana lagi, di sini tidak ada aturan pembatasan harga untuk sembako atau barang-barang apapun, semua sesuai pasar," jelas Mau.
Di Dili, warga Indonesia punya peranan sangat penting dalam perekonomian. Setidaknya, nyaris 80 persen, warung dan rumah makan merupakan milik warga Indonesia yang mengadu nasib ke Timor Leste. "Di sini memang banyak. Untuk usaha cukup baik, apalagi sekarang aman," kata Hartadi, pemilik warung di Comoro.
Beberapa rumah makan terkenal yang sering jadi jujukan para warga asing dan juga pejabat Timor Leste umumnya milik warga Indonesia, seperti Rumah Makan Solo Bu Hartatik di dekat Palacio Presidente atau Starco Cafe di Rua Jose Maria Marques.
Bukan hanya itu, banyak juga warga Indonesia yang dipekerjakan pada proyek-proyek pembangunan di Timor Leste. "Jaringan listrik dan beberapa bangunan pemerintahan, banyak dikerjakan pekerja asal Indonesia," bilang Altide.
Bukan berarti tenaga kerja asa Timor Leste dipinggirkan. "Ini kan negara baru merdeka. Faktor skill dan pengalaman jelas masih kurang. Makanya, kami sengaja memadukan antara pekerja yang lebih pengalaman dari luar dengan warga lokal," jelas direktur Cassanova Unipessoal Lda itu.
Dia berharap, ke depan, untuk meningkatkan taraf ekonomi di Timor Leste, dibutuhkan adanya investor-investor dari luar negeri yang bersedia menanamkan modal di Timor Leste.
"Di sini pengurusan izin usahanya sangat mudah. Tinggal bayar 100-190 dolar untuk dapat surat izin," katanya. (ham)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kapal Hantu Sisa Tsunami Ditenggelamkan di Alaska
Redaktur : Tim Redaksi