jpnn.com - Nikah massal dipilih sebagai cara mengakhiri banyaknya pasangan tinggal serumah, punya anak, tanpa ikatan suami istri yang sah secara hukum negara.
Mesya Mohamad - Sorong
BACA JUGA: Mau Ikut Nikah Massal, 100 Pasangan Terkendala Administrasi
SEBANYAK 135 pasangan dengan wajah semringah duduk manis di gedung pertemuan Maranatha, Kota Sorong, Papua Barat, beberapa waktu lalu.
Gedung yang tanpa AC ini terasa panas karena hanya diberi beberapa kipas angin.
BACA JUGA: Gerindra Klaim Nikah Massal Bukan Ide Anies-Sandi
Namun 135 pasang pengantin nikah massal ini tetap tenang. Sepertinya cuaca panas Kota Sorong kalah adem dengan hati mereka yang tengah berbunga-bunga.
Ya, mereka akan dikukuhkan dalam tali perkawinan sah setelah bertahun-tahun tanpa ikatan resmi yang dilindungi hukum negara.
BACA JUGA: Sandiaga Uno Siap Bantu Mahar Emas Buat Nikah Massal
Sorong memang terkenal sebagai wilayah yang angka kekerasan terhadap perempuan dan anak cukup tinggi.
Salah satu penyebabnya karena banyak pasangan yang tinggal serumah hingga punya anak dan cucu tanpa ikatan resmi secara hukum negara.
Mereka hanya diikat secara adat, agama (siri), atau pun cukup dengan persetujuan keluarga saja. Dengan kata lain, bila sudah turun restu keluarga, pasangan bisa tinggal serumah dan punya anak.
Hal inilah yang mengusik Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Yohana Yembise.
Menteri asal Papua ini melihat bahaya besar bisa mengancam masa depan perempuan dan anak bila hak-haknya tidak dilindungi.
Dia pun mencetuskan ide membuat pernikahan massal. Tidak hanya saat peringatan hari ibu, tapi akan dibuat secara berkala. Ini sebagai upaya pemerintah melindungi perempuan dan anak.
"Di Sorong banyak pasangan yang hanya kumpul kebo. Ini sangat tidak menguntungkan bagi anak dan istri. Mereka sewaktu-waktu bisa dibuang karena tidak ada dokumen resmi yang mengesahkan hubungan suami istri," terang Menteri Yohana saat berkunjung ke Papua Barat, belum lama ini.
Perempuan dan anak, lanjutnya, harus selalu dilindungi serta dijaga hak-haknya. Dia pun meminta masyarakat adat di Papua untuk bersama-sama menekan angka kekerasan terhadap perempuan.
Mama Yo, panggilan akrabnya, tak bosan-bosannya mengajak perempuan jangan mau dinikahi kalau tidak ada catatan sipilnya.
Semakin banyak perempuan yang menolak, Yohana optimistis bisa menekan angka pasangan hidup serumah tanpa ikatan yang sah.
Perempuan inisial El dan si pria Gid, misalnya. Pasangan yang sudah dikaruniai tiga anak ini hanya menikah secara keluarga. Enam tahun hidup bersama tanpa ada surat resmi dari catatan sipil.
Kedua lulusan sarjana ini beralasan, menikah resmi terlalu banyak syarat dan makan biaya. Mereka pun nyaman karena di sekitarnya menganggap hal tersebut wajar.
"Banyak yang kayak kami juga, jadi kami santai saja enam tahun tanpa surat resmi," ujar El yang bekerja sebagai di sebuah rumah sakit di Sorong.
Kisah Yusuf (40) dan Maryati (34) beda lagi. Pasangan yang menikah sejak 2003 ini sudah dikaruniai tiga anak. Yusuf yang asal Bugis ini mengaku menikahi Maryati, gadis Kupang secara resmi.
Namun, tahun 2004 bencana melanda. Rumah mereka terbakar hingga surat-surat berharga termasuk buku nikahnya ludes.
Keduanya berusaha mengurus buku nikah. Namun, Yusuf yang bekerja sebagai nelayan itu diminta bayar Rp 2 juta. Beruntung ada nikah massal sehingga mereka bisa mendapatkan buku nikahnya lagi.
Pasangan nikah siri Supartin (32) dan Asmawati (27) juga punya kisah sendiri. Keduanya menikah siri sejak 19 Mei 2017. Supartin yang asal Jawa sudah ngebet menikahi Asmawati dari Buton.
Tukang bangunan ini pun memilih nikah secara agama. Saat ini Asmawati tengah hamil empat bulan. Begitu tahu ada nikah massal, pasangan ini pun ikut.
"Sebenarnya di Sorong nggak masalah kalau menikah siri tapi saya kasihan istri. Dia nggak punya bukti kuat sudah menikah," ucapnya sambil tertawa. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perayaan Tahun Baru 2018 Dipusatkan di Monas
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad