BOGOR– Pasokan sapi di Bogor ternyata melimpah ruah. Isu kelangkaan sehingga membuat harga daging sapi melangit bisa dipastikan ulah spekulan. Dari penelusuran Radar Bogor (Grup JPNN), populasi sapi hasil penggemukan di Kabupaten Bogor saja mencapai 17.500 ekor. Sementara kebutuhan sepanjang Ramadan dan Lebaran hanya 2.350 ekor.
Kebutuhan daging selama 27 hari dari 1 Ramadan sampai tiga hari sebelum Idul Fitri sekitar 1.350 ekor, dengan konsumsi harian rata-rata 50 ekor. Sedangkan dari H-3 hingga Lebaran diperkirakan mencapai sekitar 1.000 ekor.
Selasa (16/7), wartawan koran ini menyusuri kantong-kantong sapi penggemukan di Kabupaten Bogor yang tersebar di sejumlah kecamatan. Dari jumlah yang ada, ternyata masih sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat Bogor. Populasi sapi di Cariu saja mencapai 2.000 ekor, Cileungsi sebanyak 3.500 ekor, Babakanmadang sebanyak 3.000 ekor, dan Rumpin sebanyak 7.000 ekor.
Penggemukan sekitar 15.500 ekor sapi dikuasai oleh enam perusahaan besar, yakni PT Catur, PT Widodo Makmur Perkasa, PT Prisma Mahesa Unggul, PT Sinar Ratel, PT Rumpinari dan PT KAR. Sisanya, sekitar 2.000 ekor dikelola oleh peternakan skala kecil dan menengah yang tersebar di sejumlah wilayah.
Kabupaten Bogor memang menjadi sentra penggemukan sapi, baik dari impor maupun dari berbagai daerah di dalam negeri, seperti Lampung, Jawa Timur, Bali, dan Jawa Tengah. Hasil dari penggemukan itu bahkan bisa memenuhi kebutuhan wilayah Jabodetabek.
Peternakan milik PT Widodo Makmur Perkasa (WMP) di Desa Mampir, Kecamatan Cileungsi, misalnya. Mereka melakukan penggemukan sapi impor dari Australia sebanyak 2.500 ekor. “Dalam sehari sedikitnya 30 ekor sapi dikirim ke rumah pemotongan hewan (RPH),” kata petugas keamanan peternakan, Asep (35).
Selain PT WMP, PT Rejo Sari Bumi (RSB) di Tapos, Ciawi, pun melakukan penggemukan sapi hasil perkawinan silang sapi perah dan sapi potong dari Bali. Sementara pembibitannya dilakukan di Ciomas. “Kami di sini punya 40 sapi. Ada dua jenis sapi, yakni Engges dan Upang. Dari sini dikirim ke Tapos,” kata pengawas ternak PT RSB Unit Ciomas, Sukarjo (52).
Penanggungjawab Perencanaan dan Pengembangan PT RSB Unit Tapos, Nyoman mengatakan perusahaannya mengembangkan sapi potong guna memenuhi kebutuhan daging di Bogor. “Selain sapi perah yang berjumlah 1.500 ekor, kami punya 300 sapi potong. Selain untuk kebutuhan Bogor, dikirim juga Solo, Jogja, dan Jakarta,” terangnya.
Pemilik peternakan PD Cahaya Rimba di Cigudeg, Bogor, H. Nur Hasayuti mengatakan, ketersediaan daging sapi seharusnya tidak menjadi masalah. “Saya tengah menggemukkan sekitar 80 ekor. Bila pasar kekurangan menjelang Lebaran, siap mendatangkan sekitar 2.000 sapi dari Jawa Timur. Semuanya layak potong,” ujarnya.
Satu ekor sapi layak potong memiliki berat di atas 250 kilogram, bahkan bisa mencapai 400 kilogram. Berat daging dalam satu ekor sapi sekitar 70 persen, sedangkan 30 sisanya berupa tulang, kulit, dan jeroan.
“Sapi dari peternak dijual per kilogram. Baik sebelum maupun sesudah kenaikan BBM, kami menjual dengan harga Rp37.000 per kilogram. Kalaupun ada kenaikan harga dari peternak, kami perkirakan harga per kilogram daging sapi sekitar Rp40.000 pada H-7,” ujar salah seorang peternak Desa Kalisuren Kecamatan Tajurhalang, Irvan Arief (37).
Irvan mengaku tidak menemukan hambatan untuk memenuhi kebutuhan vitamin ternak, ketersediaan pakan, dan transportasi saat proses distribusi. “Jadi, kami tidak menaikkan harga. Bila ada kenaikan, berarti sengaja dimainkan oleh spekulan atau pedagang. Saya sering kirim ke daerah Cigudeg, Leuwiliang, Parung, Ciampea, Cilangkap, dan Bekasi,” tegas peternak yang tengah menggemukkan 257 ekor sapi itu.
Lalu kenapa harga daging sapi di Bogor sempat mencapai angka Rp120 ribu? Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan) Kabupaten Bogor, Sutrisno mengakui bahwa hal itu tak terlepas dari campur tangan para spekulan. Tetapi, dia memastikan pasokan daging sapi untuk kebutuhan Lebaran memang aman.
“Harga akan ditekan hingga di bawah Rp100 ribu. Caranya, bersama para importir dan peternak melakukan operasi pasar dengan harga jual Rp95.000 per kilogram, sehingga ulah spekulan bisa diantisipasi,” jelasnya.
Soal tingkat kebutuhan, lanjut Sutrisno, tiga hari menjelang Lebaran sekitar seribu ekor untuk Kabupaten Bogor, 1.500 ekor untuk Kota Bogor, seribu ekor untuk Kota Depok, dan 5.000 ekor untuk Jakarta. “Tapi, kami utamakan kebutuhan daerah dulu, baru ke luar,” tandasnya.
Saat ini Disnakan memiliki tiga RPH, yakni di Cibinong, Jonggol, dan Leuwiliang. Sedangkan untuk kebutuhan di luar Kabupaten Bogor, pemotongan sapi bisa dilakukan di Pamulang dan Cilangkap.
Kepala Bidang Pedagangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Bogor , Mangahit Sinaga, tingkat konsumsi daging sapi memasuki bulan Ramadan di Kota Bogor melonjak hingga 30 persen. Disperindag Kota Bogor mencatat, lebih dari satu juta warga Bogor mengonsumsi sekitar 24 ton daging sapi selama dua hari terakhir.
“Biasanya potong 80 ekor sapi per hari. Lebih dari 60 persen untuk kebutuhan Kota Bogor, sisanya untuk sebagian Kabupaten Bogor. Pada Ramadan, 80 ekor sapi itu untuk Kota Bogor saja. Dari H-4 hingga Lebaran, malah bisa mencapai 100 ekor sapi per hari,” katanya.
Sekadar informasi, setelah sempat memuncak pada awal Ramadan, kini harga daging sapi di pasar tradisional berangsur-angsur menurun. Sudah dua hari terakhir bertahan pada harga Rp95-98 ribu per kilogram.
Terpisah, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan mengakui bahwa Jawa Barat menjadi salah satu daerah yang mengalami kenaikan harga daging tertinggi di Indonesia. Tapi menurutnya kenaikan kenaikan harga justru lantaran suplai daging menipis.
Ia mengungkapkan, hingga saat ini, Jawa Barat, termasuk Kabupaten dan Kota Bogor masih mengandalkan pasokan dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging. “Kebutuhan Jawa Barat sebanyak 450 ton pertahun. Kita baru bisa memenuhi 20 persen, 80 persennya disuplai dari Provinsi lain, dari Jawa Timur, Jawa Tengfah, Nusa Tenggara, Lampung dan Bali,” katanya.(ful/cr17/cr14/abe/cr1 0/cr19/cr18/rp1/d)
Kebutuhan daging selama 27 hari dari 1 Ramadan sampai tiga hari sebelum Idul Fitri sekitar 1.350 ekor, dengan konsumsi harian rata-rata 50 ekor. Sedangkan dari H-3 hingga Lebaran diperkirakan mencapai sekitar 1.000 ekor.
Selasa (16/7), wartawan koran ini menyusuri kantong-kantong sapi penggemukan di Kabupaten Bogor yang tersebar di sejumlah kecamatan. Dari jumlah yang ada, ternyata masih sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat Bogor. Populasi sapi di Cariu saja mencapai 2.000 ekor, Cileungsi sebanyak 3.500 ekor, Babakanmadang sebanyak 3.000 ekor, dan Rumpin sebanyak 7.000 ekor.
Penggemukan sekitar 15.500 ekor sapi dikuasai oleh enam perusahaan besar, yakni PT Catur, PT Widodo Makmur Perkasa, PT Prisma Mahesa Unggul, PT Sinar Ratel, PT Rumpinari dan PT KAR. Sisanya, sekitar 2.000 ekor dikelola oleh peternakan skala kecil dan menengah yang tersebar di sejumlah wilayah.
Kabupaten Bogor memang menjadi sentra penggemukan sapi, baik dari impor maupun dari berbagai daerah di dalam negeri, seperti Lampung, Jawa Timur, Bali, dan Jawa Tengah. Hasil dari penggemukan itu bahkan bisa memenuhi kebutuhan wilayah Jabodetabek.
Peternakan milik PT Widodo Makmur Perkasa (WMP) di Desa Mampir, Kecamatan Cileungsi, misalnya. Mereka melakukan penggemukan sapi impor dari Australia sebanyak 2.500 ekor. “Dalam sehari sedikitnya 30 ekor sapi dikirim ke rumah pemotongan hewan (RPH),” kata petugas keamanan peternakan, Asep (35).
Selain PT WMP, PT Rejo Sari Bumi (RSB) di Tapos, Ciawi, pun melakukan penggemukan sapi hasil perkawinan silang sapi perah dan sapi potong dari Bali. Sementara pembibitannya dilakukan di Ciomas. “Kami di sini punya 40 sapi. Ada dua jenis sapi, yakni Engges dan Upang. Dari sini dikirim ke Tapos,” kata pengawas ternak PT RSB Unit Ciomas, Sukarjo (52).
Penanggungjawab Perencanaan dan Pengembangan PT RSB Unit Tapos, Nyoman mengatakan perusahaannya mengembangkan sapi potong guna memenuhi kebutuhan daging di Bogor. “Selain sapi perah yang berjumlah 1.500 ekor, kami punya 300 sapi potong. Selain untuk kebutuhan Bogor, dikirim juga Solo, Jogja, dan Jakarta,” terangnya.
Pemilik peternakan PD Cahaya Rimba di Cigudeg, Bogor, H. Nur Hasayuti mengatakan, ketersediaan daging sapi seharusnya tidak menjadi masalah. “Saya tengah menggemukkan sekitar 80 ekor. Bila pasar kekurangan menjelang Lebaran, siap mendatangkan sekitar 2.000 sapi dari Jawa Timur. Semuanya layak potong,” ujarnya.
Satu ekor sapi layak potong memiliki berat di atas 250 kilogram, bahkan bisa mencapai 400 kilogram. Berat daging dalam satu ekor sapi sekitar 70 persen, sedangkan 30 sisanya berupa tulang, kulit, dan jeroan.
“Sapi dari peternak dijual per kilogram. Baik sebelum maupun sesudah kenaikan BBM, kami menjual dengan harga Rp37.000 per kilogram. Kalaupun ada kenaikan harga dari peternak, kami perkirakan harga per kilogram daging sapi sekitar Rp40.000 pada H-7,” ujar salah seorang peternak Desa Kalisuren Kecamatan Tajurhalang, Irvan Arief (37).
Irvan mengaku tidak menemukan hambatan untuk memenuhi kebutuhan vitamin ternak, ketersediaan pakan, dan transportasi saat proses distribusi. “Jadi, kami tidak menaikkan harga. Bila ada kenaikan, berarti sengaja dimainkan oleh spekulan atau pedagang. Saya sering kirim ke daerah Cigudeg, Leuwiliang, Parung, Ciampea, Cilangkap, dan Bekasi,” tegas peternak yang tengah menggemukkan 257 ekor sapi itu.
Lalu kenapa harga daging sapi di Bogor sempat mencapai angka Rp120 ribu? Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakan) Kabupaten Bogor, Sutrisno mengakui bahwa hal itu tak terlepas dari campur tangan para spekulan. Tetapi, dia memastikan pasokan daging sapi untuk kebutuhan Lebaran memang aman.
“Harga akan ditekan hingga di bawah Rp100 ribu. Caranya, bersama para importir dan peternak melakukan operasi pasar dengan harga jual Rp95.000 per kilogram, sehingga ulah spekulan bisa diantisipasi,” jelasnya.
Soal tingkat kebutuhan, lanjut Sutrisno, tiga hari menjelang Lebaran sekitar seribu ekor untuk Kabupaten Bogor, 1.500 ekor untuk Kota Bogor, seribu ekor untuk Kota Depok, dan 5.000 ekor untuk Jakarta. “Tapi, kami utamakan kebutuhan daerah dulu, baru ke luar,” tandasnya.
Saat ini Disnakan memiliki tiga RPH, yakni di Cibinong, Jonggol, dan Leuwiliang. Sedangkan untuk kebutuhan di luar Kabupaten Bogor, pemotongan sapi bisa dilakukan di Pamulang dan Cilangkap.
Kepala Bidang Pedagangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Bogor , Mangahit Sinaga, tingkat konsumsi daging sapi memasuki bulan Ramadan di Kota Bogor melonjak hingga 30 persen. Disperindag Kota Bogor mencatat, lebih dari satu juta warga Bogor mengonsumsi sekitar 24 ton daging sapi selama dua hari terakhir.
“Biasanya potong 80 ekor sapi per hari. Lebih dari 60 persen untuk kebutuhan Kota Bogor, sisanya untuk sebagian Kabupaten Bogor. Pada Ramadan, 80 ekor sapi itu untuk Kota Bogor saja. Dari H-4 hingga Lebaran, malah bisa mencapai 100 ekor sapi per hari,” katanya.
Sekadar informasi, setelah sempat memuncak pada awal Ramadan, kini harga daging sapi di pasar tradisional berangsur-angsur menurun. Sudah dua hari terakhir bertahan pada harga Rp95-98 ribu per kilogram.
Terpisah, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan mengakui bahwa Jawa Barat menjadi salah satu daerah yang mengalami kenaikan harga daging tertinggi di Indonesia. Tapi menurutnya kenaikan kenaikan harga justru lantaran suplai daging menipis.
Ia mengungkapkan, hingga saat ini, Jawa Barat, termasuk Kabupaten dan Kota Bogor masih mengandalkan pasokan dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging. “Kebutuhan Jawa Barat sebanyak 450 ton pertahun. Kita baru bisa memenuhi 20 persen, 80 persennya disuplai dari Provinsi lain, dari Jawa Timur, Jawa Tengfah, Nusa Tenggara, Lampung dan Bali,” katanya.(ful/cr17/cr14/abe/cr1 0/cr19/cr18/rp1/d)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bangun MRT, Pemprov DKI Pinjam Rp7,5 Triliun ke Jepang
Redaktur : Tim Redaksi